Kisah Mayjen TNI Dudung Abdurachman Saat Kecil, Antar Koran dan Cari Kayu Bakar Sebelum ke Sekolah
Setelah ayahnya meninggal, Dudung harus membantu ekonomi keluarga dengan menjadi loper koran dan mengantar klepon dan pastel sebelum berangkat sekolah
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman belakangan menjadi sorotan publik karena perintah kepada jajarannya untuk mencopot baliho dan spanduk bergambar Imam Besar FPI Rizieq Shihab atau Habib Rizieq di wilayahnya.
Tidak hanya itu, Dudung juga sempat mengungkapkan pernyataan terkait pembubaran organisasi masyarakat yang bermarkas di Petamburan Jakarta Pusat tersebut.
Tindakan mencopot baliho tersebut tidak hanya mendatangkan puluhan karangan bunga dukungan dari publik di Makodam Jaya, melainkan juga ditiru di sejumlah di wilayah di Indonesia.
Hal itu membuat orang banyak ingin mengenal sosok jenderal bintang dua ini.
Dalam wawancara eksklusif dengan Tribunnews.com pada Senin (23/11/2020), Dudung menceritakan perjalanan hidupnya.
Baca juga: Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman Ungkap Alasannya Menghukum Kopda Asyari
Setelah ayahnya yang bekerja sebagai PNS golongan 2D wafat, kata Dudung, ia harus membantu ekonomi keluarga dengan menjadi loper koran dan mengantar klepon dan pastel sebelum berangkat ke sekolah saat SMA.
Sejak pukul 04.00 WIB, anak keenam dari delapan bersaudara itu telah bangun untuk mengambil sekira 270 koran dan majalah di Cikapundung Jawa Barat untuk diantar hingga pukul 08.00 WIB.
Selesai mengantar koran, ia pun mengantar kue dari warung ke warung, kantin, taman, SMP, bahkan Kodam.
Tak hanya itu, ia bahkan mencari kayu bakar untuk ibunya memasak di rumah dulu sebelum berangkat sekolah siang hari.
"Rumah saya itu di barak-barak. Jadi asrama itu seperti barak, itu disekat-sekat, pakai bilik-bilik. Atapnya itu tidak ada plafonnya. Jadi langsung bolong. Jadi kalau ngobrol dengan tetangga sebelah kedengeran itu. Kalau ribut ya kedengeran dengan tetangga sebelah. Antara keluarga dengan keluarga itu hanya pakai bilik, di situ," ungkap Dudung tenang.
Cita-citanya untuk masuk Institut Teknologi Bandung pun terpaksa harus gugur karena ketiadaan biaya.
Di sanalah ia memutuskan untuk masuk ke Akademi Militer karena gratis.
"Senang saya, makan gratis, dapat uang saku. Makanya selama pendidikan di akademi militer orang lain kurus-kurus, tertekan, saya gemuk sendiri. Saya makan saja, hajar itu kan. Orang nggak punya, lihat nasi, wah itu kan. Seperti itu. Malah gemuk," kata Dudung sambil tertawa.