DPR dan Pemantau Pemilu : Kandidat Abai Prokes, Sanksi Pidana Menanti
Puncak masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibayangi potensi pelanggaran. Para kandidat kepala daerah hendaknya
Editor: FX Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Puncak masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibayangi potensi pelanggaran. Para kandidat kepala daerah hendaknya meningkatkan ketaatan protokol kesehatan atau prokes covid-19 supaya tidak berujung mendapatkan sanksi administrasi hingga pidana.
"Sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan Instruksi Menteri Dalam Negeri prokes wajib dipatuhi oleh pasangan calon dan para kepala daerah di bawah pengawasan KPU, Bawaslu dan TNI-Polri di lapangan. Setiap pelanggar prokes sesuai PKPU dan Instruksi Mendagri dikenakan sanksi administratif sampai pidana," ujar Anggota Komisi II DPR RI Junimart Girsang, Selasa (1/12/2020).
PKPU Nomor 13/2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mengatur pelaksanaan setiap tahapan pilkada dengan protokol kesehatan berikut sanksi administratif dan Instruksi Mendagri No. 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mendorong semua kepala daerah mengendalikan covid-19 berikut sanksi bila abai dengan ancaman pemecatan. Untuk itu sebagai antisipasi tahapan akhir kampanye dan menjelang pemungutan suara , minggu lalu Pemerintah sudah adakan rakor nasional yang diikuti daerah daerah yang akan Pilkada secara virtual dipimpin langsung Menko Polhukam
Menurut Junimart Bawaslu dengan Kepolisian yang fokus sebagai pengawal di lapangan saat pilkada wajib menerapkan aturan dengan konsisten dan konsekuen. Tujuannya sangat jelas yakni supaya pilkada sampai selesai tidak menimbulkan keterpaparan covid-19 yang signifikan.
"Yang pasti penerapan prokes menjadi salah satu syarat dan tanggung jawab utama dari para pasangan calon," katanya.
Sanksi pidana sangat mungkin diterapkan seperti tertuang dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penyakit Menular.
"Secara umum untuk meredam penyebaran covid-19 menjadi tanggung jawab kita bersama sesama anak bangsa," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui pada kasus kerumunan massa di Petamburan dan Bogor Polri menyatakan telah menemukan tindak pidana, dan telah meningkatkan status dari penyeledikan menjadi penyidikan.
Sementara itu Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan koordinasi dan penyamaan persepsi antara Bawaslu dan aparat penegak hukum menjadi suatu keniscayaan menjelang akhir masa kampanye dan memasuki masa tenang.
"Karena dikhawatirkan akan ada peningkatan intensitas kampanye tatap muka atau pertemuan langsung yang akan dilakukan pasangan calon dan tim kampanyenya memanfaatkan sisa waktu pilkada yang tinggal beberapa hari lagi," katanya.
Bawaslu dan aparat harus punya kesepahaman terkait pengawasan dan penindakan atas pelanggaran terhadap prokes dalam pelaksanaan kampanye.
"Apalagi kalau sampai terlihat ada ketidaktegasan para pihak yang punya otoritas dalam penindakan pelanggaran terhadap prokes, bisa berdampak pada tindakan pelanggaran yang lebih besar baik dalam konteks pilkada maupun di luar proses pilkada," paparnya.
Padahal dampak dari pelanggaran prokes sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan warga masyarakat. Pasangan calon dan tim kampanye mesti belajar dari proses hukum atas pelanggaran kerumunan di Petamburan dan Bogor yang berujung ke proses pidana.
"Hukum berlaku tidak pandang bulu, dan diberlakukan tegas kepada semua pihak tanpa kecuali. Dengan demikian mestinya, paslon dan timnya bisa menahan diri dan mengendalikan pendukungnya sebaik mungkin untuk tidak melakukan pelanggaran prokes saat berkampanye pilkada," tutupnya.