Sekum Muhammadiyah Ingatkan Masyarakat Cerdas Pilih Pendakwah, Jangan Hanya Asal Populer
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti ingatkan masyarakat cerdas melihat dan memilih pendakwah, jangan hanya karena populer semata.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti angkat bicara terkait fenomena pendakwah yang berganti nama setelah kasus Soni Eranata, yang menggunakan nama Ustadz Maaher At Thuwailibi, ditangkap polisi.
Ia menyayangkan, banyak orang yang mengklaim dirinya ustadz padahal pemahaman terkait ilmu agamanya masih rendah.
“Soal ustaz yang ganti nama, juga hal yang biasa. Sayangnya, kini banyak ustaz atau pendakwah karbitan yang penguasaan ilmu agamanya dangkal dan akhlak yang tidak bisa menjadi teladan. Banyak orang yang tiba-tiba mengklaim dirinya sebagai ustaz beberapa saat setelah ‘hijrah’,” ujar Mu’ti seperti dikutip dari lama resmi Muhammadiyah, pada Sabtu (5/12/2020).
Baca juga: Maaher At Thuwailibi Pernah Dilaporkan Hina Gus Dur, Berawal dari Cuitan di Twitter
Menurut Mu’ti, masyarakat harus cerdas menilai pendakwah dan tidak hanya melihat bahwa pendakwah tersebut populer.
“Ganti nama atau tidak, semua berpulang pada masing-masing. Masyarakat, khususnya umat Islam, sebaiknya kritis dan cerdas dengan menilai ceramah dari kebenaran isi ajaran, bukan melihat popularitas dai atau ustaz,” ucapnya.
Mu’ti menjelaskan perubahan nama dalam Islam sering terjadi, sehingga bukan sesuatu hal yang baru.
Bahkan ujarnya, sejak jaman Nabi banyak sahabat yang memiliki julukan selain dari nama aslinya.
Nabi Muhammad, juga disebut Abul Qasim, demikian halnya dengan sahabat Abu Hurairah.
Banyak ulama yang lebih dikenal dengan nama daerah atau tempat tinggalnya, seperti Al-Ghazali, Al-Qurthubi, dan lain-lain.
Baca juga: Ustaz Maaher Sudah Ditangkap, Nikita Mirzani Tetap Akan Lapor Polisi, Ini Alasannya
Kemudian, dalam tradisi di Indonesia, nama berubah atau diganti jika terjadi sesuatu pada orang tersebut, seperti setelah menunaikan haji atau menjadi mualaf.
"Dalam tradisi Islam Indonesia, seseorang biasanya berganti nama setelah menunaikan ibadah haji, masuk Islam, atau mengalami konversi keagamaan. Secara spiritual seseorang berganti nama sebagai identitas keagamaan, menjadi atau terlahir kembali (reborn) sebagai muslim," kata dia
“Dengan nama baru itu, seseorang berusaha menjadi lebih baik dalam hal beragama dan berperilaku. Berganti nama itu tidak ada tuntunan dalam agama. Semuanya lebih sebagai tradisi. Akan tetapi, jika penggantian nama itu permanen, harus dicatat di lembaga berwenang,” sambung Mu'ti.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.