Femisida Meningkat, Puncak Kekerasan Berbasis Gender yang Tak Dikenali dan Diabaikan Negara
Kasus femisida meningkat, ironisnya femisida yang merupakan puncak kekerasan berbasis gender ini tak cukup dikenali hingga diabaikan oleh negara.
Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan sebagai puncak kekerasan berbasis gender meningkat.
Hasil pemantauan terhadap kasus femisida di Indonesia dipublikasikan Komnas Perempuan dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP).
Ironisnya, berdasarkan rilis Komnas Perempuan yang diterima Tribunnews.com, femisida yang merupakan puncak kekerasan berbasis gender ini tak cukup dikenali hingga diabaikan oleh negara.
Baca juga: Komnas Perempuan Gagas Pembangunan Center of Peace di Maluku
Baca juga: Komnas Perempuan dan Lemhannas Kaji Penghapusan Kekerasan pada Wanita dalam Penanganan Covid-19
Pemantauan terhadap femisida dilakukan Komnas Perempuan berdasar pada berbagai situs berita daring sebagaimana rekomendasi Pelapor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan (A/71/398) tahun 2016.
Laporan tersebut menuntut dibentuknya femicide watch di tingkat global, nasional hingga regional dan observatorium tentang kekerasan terhadap perempuan.
Publikasi dari observatorium juga turut diusulkan agar dilakukan setiap tanggal 25 November pada kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP).
Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2020, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada sejumlah stakeholder, antara lain:
1. Pemerintah dan DPR RI mengintegrasikan isu femisida dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia;
2. Kepolisian R.I. melakukan pendokumentasian secara nasional dengan melakukan pemilahan gender terhadap korban pembunuhan agar terpetakan penyebab, dan pola femisida di Indonesia;
3. Organisasi pers/jurnalis menggali dan memberitakan kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan dengan menggunakan perspektif gender agar dikenali bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang menyertai pembunuhan terhadap perempuan;
4. Masyarakat sipil agar memantau dan melaporkan kasus-kasus femisida ke Komnas Perempuan dan/atau lembaga penyedia layanan korban.
Baca juga: Komnas Perempuan Soroti Masih Terjadinya Kekerasan Seksual di Ruang Pendidikan
Meningkatnya Kasus Femisida di Indonesia saat Pandemi Covid-19
Dalam konteks pandemi Covid-19, pakar independen PBB telah memperingatkan perlunya prakarsa-prakarsa nasional untuk memantau dan mencegah apa yang disebut femisida pandemik dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan.
Secara global femisida telah menjadi isu serius namun kurang mendapat perhatian termasuk di Indonesia.
Setidaknya tampak dari pendataan yang masih menyederhanakan femisida sebagai tindak pidana pembunuhan umum.
Dimensi kekerasan berbasis gender tidak digali dan pelaporan femisida ke lembaga layanan masih minim, karena korban sudah meninggal.
Itulah sebabnya, Komnas Perempuan mendasarkan pemantauannya pada pemberitaan media massa.
Data yang diolah dari hasil pemantauan Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2018 - 2020 menunjukkan bahwa femisida merupakan sadisme baik dari motif, pola-pola pembunuhannya maupun berbagai dampak terhadap keluarga korban.
Baca juga: Suami Bunuh Istri yang Hamil Muda hingga Ibu Kandung Ogah Akui Anak, Kini Divonis Penjara 17 Tahun
Ketika korban kekerasan meninggal dibunuh, keluarga korban tak lagi memandang perlu menyelidiki kasus secara tuntas dan diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Dampak psikologis seperti trauma dan depresi yang dialami keluarga tidak mendapat layanan pemulihan, termasuk ganti rugi.
Dari data pemantauan tersebut tampak bahwa kasus femisida meningkat setiap tahunnya seiring dengan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada 2018 terdapat 730 kasus, tahun 2019 sebanyak 1.184 kasus dan sampai Oktober 2020 tercatat 1.156 kasus.
Sebaran isu femisida meliputi pembunuhan perempuan (1.1770 kasus), suami membunuh istri (1.041 kasus), pembunuhan pacar berjumlah (92 kasus), pembunuhan mantan pacar (47 kasus) dan pembunuhan oleh mantan suami (105 kasus).
Baca juga: Bersama Selingkuhan Bunuh Istri, Praka Martin Divonis 20 Tahun Penjara dan Dipecat Dari TNI
Baca juga: Setelah Bunuh Istri di Depan Anak, Pria Ini Kirim Foto Jenazahnya ke Mertua
Tampak bahwa femisida terbanyak terjadi di ranah rumah tangga/personal yang dilakukan dalam relasi keluarga, perkawinan maupun pacaran.
Di ranah komunitas femisida terjadi sebagai kekerasan berbasis gender lainnya seperti perkosaan.
Pembunuhan oleh mantan suami terhadap mantan isterinya menunjukkan bahwa ketika hubungan suami-isteri berakhir, antara lain melalui perceraian, kekerasan tidak berhenti, itu hanya transisi ke bentuk kekerasan baru yang disebut sebagai “post separation abuse” atau KDRT berlanjut.
Selain pembunuhan oleh pasangan, kematian perempuan juga didorong untuk menyelamatkan kehormatan diri dan keluarga (honour killing) seperti pembunuhan terhadap seorang remaja perempuan oleh ayah dan saudara laki-lakinya, karena melakukan hubungan seksual di luar perkawinan di Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Motif dendam mendorong pembunuhan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, oleh pelaku yang memperkosa jasad pasangannya, karena dendam sebab lamarannya ditolak dan korban mengaku sudah memiliki kekasih.
Motif menolak tanggung jawab mendasari pembunuhan terhadap mahasiswi di Makassar oleh pasangannya, karena hamil 4 bulan dan pasangan tak menghendaki kehamilan.
Baca juga: Pria Bunuh Pacar yang Tengah Hamil Pakai Racun & Kubur di Fondasi, Akui Khilaf & Ingin Gugurkan Bayi
Dalam konteks konflik sosial, pembunuhan perempuan didorong keinginan menjatuhkan mental lawan atau sebagai simbol kemenangan dengan menjadikan perempuan dari pihak lawan sebagai “sasaran antara”.
Komnas Perempuan melalui Kajian Kualitatif Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) di 10 Provinsi 17 Kabupaten/Kota pada 2018 mendapati kematian bayi perempuan karena pendarahan seusai pemotongan klitorisnya.
Femisida sebagai puncak dari kekerasan terhadap perempuan dilakukan dengan agresi maupun sadisme, seperti disembelih, dimutilasi, dibakar, diperkosa sebelum dan/atau setelah tewas, dirusak wajah atau organ seksual, sampai kepada penelanjangan tubuh setelah korban tewas sebagai wujud pelucutan martabat korban.
Faktor-faktor penyebab femisida antara lain, ketersinggungan maskulinitas, marah karena didesak bertanggung jawab atas kehamilan, menghindari tanggung jawab materi, kecewa ditolak cinta, cemburu, memaksa pelayanan maupun pemenuhan transaksi seksual, konflik dalam rumah tangga dan tidak mau dicerai, melakukan perlawanan saat diperkosa, dan seterusnya.
Baca juga: Gara-gara Dikatai Gigi Mirip Drakula, Pria Ini Bunuh Pacar, Sempat Coba Bunuh Diri sebelum Ditangkap
Baca juga: Pelajar Bunuh Pacar setelah Bersetubuh karena Cemburu, Leher Korban Dijerat Lalu Dimasukkan Karung
Baca juga: Sakit Hati Usai Lamaran Ditolak, Seorang Dosen di Bima Bunuh Pacar
Femisida juga terjadi karena tidak dijalankannya perintah pelindungan dari pengadilan padahal korban sudah mengadukan ancaman terhadap dirinya.
Hal-hal tersebut di atas tidak sejalan dengan jaminan hak untuk hidup (Pasal 28A), hak mendapat perlakuan hukum yang adil dan kepastian hukum (Pasal 28D), dan hak atas rasa aman (Pasal 28G) sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Sebagai negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang memandatkan negara untuk melakukan berbagai tindakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, maka terus terjadinya femisida merupakan kelalaian negara dalam upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Oleh karena itu, negara harus bertanggung jawab atas ketidakmampuan untuk mencegah, melindungi dan menjamin kehidupan perempuan yang berakibat mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan sepanjang hidup.
Tentang Femisida
Berbicara mengenai femisida, istilah ini pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan menempatkannya sebagai “pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki”.
PBB mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan dan bentuknya bermacam-macam antara lain pembunuhan terhadap pasangan, pembunuhan terhadap perempuan dengan tuduhan tukang sihir, honour killings, pembunuhan dalam konflik bersenjata, pembunuhan karena mahar, dst-nya.
Femisida merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan manifestasi dari diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender.
Kata ini digunakan untuk menunjukkan perbedaan dengan pembunuhan biasa (homicide) karena mengandung ketidaksetaraan gender, penindasan, perendahan dan kekerasan terhadap perempuan yang sistematis menjadi penyebab atau disebut sebagai “puncak kekerasan berbasis gender.”
Deklarasi Wina tentang Femisida (2012) memetakan sebelas bentuk femisida antara lain:
1. Kekerasan rumah tangga/pasangan intim;
2. Penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan;
3. Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan atas nama "kehormatan" (honour killing);
4. Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konflik bersenjata;
5. Pembunuhan terkait mahar;
6. Pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas gender;
7. Pembunuhan terhadap perempuan aborigin atau perempuan masyarakat adat;
8. Pembunuhan bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi jenis kelamin;
9. Kematian terkait pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation);
10. Tuduhan sihir; dan
11. Femisida lain yang terkait dengan geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api.
(Tribunnews.com/Fitriana Andriyani)