Benahi Birokrasi Kini Tidak Bergantung Kepada Kepala Daerah yang Reformis
Menuntut perubahan birokrasi lama yang tidak efisien di Indonesia sudah dilakukan jauh sebelum era Presiden Joko Widodo.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menuntut perubahan birokrasi lama yang tidak efisien di Indonesia sudah dilakukan jauh sebelum era Presiden Joko Widodo.
Bahkan gerakan reformasi birokrasi tersebut juga dilakukan di seluruh belahan dunia.
Peneliti Kebijakan Publik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengatakan di dunia pada 1980-1990-an ada gerakan reformasi birokrasi yang disebut New Public Management, yang menuntut perubahan sistem birokrasi yang berorientasi output dan menerapkan manajerial ala perusahaan swasta pada birokrasi pemerintahan.
Namun gerakan ini, lanjutnya, dianggap kurang memadai sehingga dikoreksi oleh gerakan reformasi birokrasi baru yang tuntutannya adalah birokrasi pemerintahan yang lebih efektif, transparan dan efisien dalam memeberikan pelayanan dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Baca juga: Pembubaran Lembaga Non-Struktural, PKS: Pemerintah Harus Konsisten soal Reformasi Birokrasi
“Intinya, gerakan ini menuntut negara lebih efektif, ramping dan saat yang sama bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada publik,” ujar Saidiman dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Rabu (9/12/2020).
Nah, saat ini lanjut Saidiman dengan adanya UU Cipta Kerja yang sudah resmi disahkan dinilai sejalan dengan gerakan reformasi birokrasi baru tersebut.
“Reformasi birokrasi sebelum ada UU Cipta Kerja itu dilakukan secara sporadis di daerah-daerah. Kekuatan reformasi itu ada di pemimpin-pemimpin daerah. Misalnya, di Jakarta, ada e-budgeting, aplikasi lapor Qlue, dan open recruitment untuk jabatan strategis di DKI yang dilakukan Ahok,” ujarnya.
Baca juga: Pesan Presiden di Hari Korpri: Percepat Reformasi Birokrasi dan Struktural
Maka reformasi birokrasi setelah ada UU Cipta Kerja kini tidak lagi bergantung pada munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang reformis.
“UU Cipta Kerja menjadikan reformasi birokrasi lebih sistematis dan lebih institusional dalam skala besar,” kata Saidiman.
Itu mengapa Saidiman menyimpulkan, kebutuhan untuk menghadirkan undang-undang seperti UU Cipta Kerja merupakan tuntutan reformasi birokrasi yang lebih institusional dan tidak sporadis lagi dan niscaya dibutuhkan hadir, cepat ataupun lambat.
Lulusan Crawford School of Public Policy, Australian National University ini juga menjelaskan ada tiga hal yang dilakukan Jokowi untuk transformasi ekonomi.
“Pertama, pembangunan infrastruktur secara merata dan massif sejak periode pertama. Kedua, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang dicanangkan pada periode kedua ini. Lalu ketiga, reformasi institusional yang bentuknya adalah Omnibus Law Cipta Kerja ini,” bebernya. (Willy Widianto)