Eddy Hiariej Pernah Jadi Saksi Ahli Kasus Ahok dan Sidang Perselisihan Hasil Pilpres 2019 di MK
Pria kelahiran Ambon, 10 April 1973, itu meraih gelar profesor pada usia yang terbilang muda, yakni 37 tahun
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menunjuk Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Edward Omar Sharif Hiariej atau kerap disapa Eddy OS Hiariej menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM (WamenkuHAM).
Sejauh ini, Eddy dikenal sebagai sosok akademisi yang kerap dimintai pendapat terkait isu-isu di bidang hukum.
Pria kelahiran Ambon, 10 April 1973, itu meraih gelar profesor pada usia yang terbilang muda, yakni 37 tahun.
Eddy juga tercatat beberapa kali menjadi ahli dalam persidangan.
Satu di antaranya, Eddy dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus penodaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2017.
Akan tetapi, kehadiran Eddy pada saat itu sempat menimbulkan persoalan yang membuat jaksa penuntut umum menolak kesaksian Eddy.
Baca juga: Profil Eddy Hiariej, Guru Besar UGM yang jadi Wakil Menteri Hukum dan HAM
Pasalnya, kata jaksa Ali Mukartono, Eddy sempat menghubungi jaksa dan menyatakan bahwa dirinya akan diajukan sebagai saksi ahli oleh penasihat hukum jika jaksa tak menghadirkannya sebagai ahli.
Jaksa sendiri sudah berniat akan mengajukan Eddy sebagai saksi ahli hukum pidana.
"Asumsi saya terjadi hubungan antara penasihat hukum dengan yang bersangkutan. Padahal, yang bersangkutan tahu bahwa dia menjadi ahli, itu yang mengajukan penyidik, bukan penasihat hukum," kata Ali kala itu.
Selain itu, nama Eddy juga sempat menjadi perbincangan ketika ia menjadi ahli dalam sidang perselisihan hasil Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, Eddy dihadirkan sebagai ahli oleh pasangan capres dan cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Dalam sidang tersebut, kredibilitas Eddy sempat dipertanyakan Bambang Widjojanto yang saat itu menjadi Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis Eddy terkait persoalan pemilu.
Eddy mengakui dirinya memang belum pernah menulis buku yang spesifik membahas soal pemilu.
Namun, ia menekankan, seorang profesor atau guru besar bidang hukum harus menguasai asas dan teori untuk menjawab segala persoalan hukum.
"Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya," ujar Eddy dalam sidang lanjutan sengketa hasil pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).
Eddy juga pernah menjadi ahli dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang kerap dikenal sebagai kasus kopi sianida.
Kritik UU Cipta Kerja
Kendati kini bergabung dalam pemerintahan, Eddy juga dikenal sebagai salah satu sosok yang mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja.
Ia mengatakan, UU Cipta Kerja berpotensi menjadi "macan kertas" karena tidak memiliki sanksi yang efektif.
Ia juga menilai UU Cipta Kerja tidak sesuai prinsip titulus et lex rubrica et lex yang berarti isi dari suatu pasal itu harus sesuai dengan judul babnya.
"Dia (UU Cipta Kerja) bisa sebagai macan kertas. Artinya apa? Artinya sanksi pidana dan sanksi-sanksi lainnya bisa jadi dia tidak bisa berlaku efektif," kata Eddy, Rabu (7/10/2020).
"Saya melihat dalam RUU Cipta Kerja itu ada sanksi pidana di dalamnya, tetapi di atas tertulisnya adalah sanksi administrasi.
Padahal, sanksi administrasi dan sanksi pidana itu adalah dua hal yang berbeda secara prinsip. Jadi judulnya sanksi administrasi, sementara di bawahnya itu sanksi pidana isinya," tambah Eddy.
Ia juga menilai ada kesalahan konsep penegakan hukum dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait pertanggungjawaban korporasi ketika melakukan pelanggaran.
Sebab, dalam UU itu, pertanggungjawaban korporasi berada dalam konteks administrasi atau perdata.
Namun, aturan tersebut juga memuat sanksi pemidanaan bagi korporasi.
"Ujug-ujug ada sanksi pidana yang dijatuhkan kepada korporasi dan celakanya itu adalah pidana penjara," kata dia.
Adapun selain Eddy, Jokowi juga melantik empat orang wakil menteri lainnya, yakni Muhammad Herindra sebagai Wakil Menteri Pertahanan, Dante Saksono Harbuwono sebagai Wakil Menteri Kesehatan, Harfiq Hasnul Qolbi sebagai Wakil Menteri Pertanian, dan Pahala Nugraha Mansyuri sebagai Wakil Menteri BUMN.