Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mengenal Yohana Marpaung, Master Antropologi yang Jadi Guru Anak Rimba

Perempuan bernama lengkap Yohana Pamela Berliana Marpaung ini telah mengabdi selama 2 tahun di LSM lingkungan KKI Warsi di Jambi.

zoom-in Mengenal Yohana Marpaung, Master Antropologi yang Jadi Guru Anak Rimba
Kompas.com/Suwandi
Yohana saat mengajar anak-anak suku asli Rimba, Jambi. 

TRIBUNNEWS.COM - Indonesia memiliki Saur Marlina Manurung atau yang karib disapa Butet Manurung, salah satu figur pendidikan Indonesia yang inspiratif. Ia adalah penggagas Sokola Rimba, sebuah wadah untuk mendidik suku asli orang Rimba, Jambi, yang berdiri pada 2003. Boleh dibilang, Butet Manurung adalah pelopor pendidikan alternatif bagi masyarakat adat.

Dengan penuh keberanian perempuan ini masuk-keluar hutan untuk tinggal bersama anak didiknya. Dari sinilah ia memahami situasi, pola hidup, dan adat istiadat masyarakat Suku Rimba dan menciptakan metode pengajaran yang sesuai. Berkat dedikasinya terhadap pendidikan di pedalaman, Butet meraih Heroes of Asia Award 2004 dari Majalah Time.

Kita patut bersyukur sebab jejak jasa dan perjuangan Butet tak akan musnah begitu saja. Sebab, ada seorang perempuan yang juga berdedikasi menyusul langkah Butet dalam memperjuangkan pemerataan akses pendidikan hingga ke pedalaman. Perempuan tersebut bernama Yohana Marpaung.

Yohana Marpaung (28) adalah guru yang secara sukarela mengajar anak-anak Suku Rimba. Ia hidup berpindah-pindah di perkebunan Sawit dan kawasan belantara di Jambi. Perempuan bernama lengkap Yohana Pamela Berliana Marpaung ini telah mengabdi selama 2 tahun di LSM lingkungan KKI Warsi di Jambi. Sejak saat itu ia menghabiskan banyak waktunya untuk mengajar membaca, menulis, dan menghitung bagi belasan anak suku Rimba di Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Melansir Tribun Jambi, Yohana dan anak-anak Rimba belajar setiap hari di sudung, sebutan untuk rumah suku Rimba yang terbuat dari kayu dan ditutupi terpal. Belajar tanpa jadwal seperti sekolah formal, ia siap mengajar pagi, siang, ataupun malam, kapan pun anak-anak Rimba membutuhkan.

Pada awalnya, ia tercengang saat pertama kali menemui anak-anak orang rimba kelompok Mariyau di Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Masih banyak kelompok suku Rimba yang tinggal di bawah pohon tanpa dinding.

Yohana menyaksikan sendiri orang-orang Rimba kerap memakan biji kelapa sawit karena sumber makanan di hutan semakin langka. Para perempuan pun hanya berlapis kemban lusuh. Cahaya penerangan hanya mengandalkan lampu damar minyak.

Berita Rekomendasi

Namun, hal itu sama sekali tak jadi halangan yang menyulutkan semangat belajar anak-anak Rimba. Keterbatasan akses layanan publik Suku Rimba membakar semangatnya untuk terus memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak Rimba, agar kelak mereka dapat bangkit dari keterpurukan dan memperbaiki kualitas hidupnya.

Tantangan dan tentangan

Perjuangan lulusan Magister Ilmu Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada ini pun bukan berarti tanpa tantangan dan penentangan.

Misalnya, kebiasaan masyarakat Suku Rimba yang hidup seminomaden membuat mereka tinggal berpindah-pindah hampir setiap bulan. Ini menyebabkan lokasi antarrombongan mengajar berjarak jauh satu sama lain. Medan yang sulit ditempuh cukup menguras tenaga Yohana. Belum lagi, ia kerap menggendong carrier berat berisi persediaan makanan, buku-buku, dan peralatan lainnya.

Selain harus mengajar dengan berpindah-pindah lokasi di hutan, ia juga berhasil melewati tantangan komunikasi bersama para orang Rimba. Butuh sekitar tiga bulan untuk perempuan Batak ini fasih melafalkan bahasa rimba. Beruntung, keterbatasan berkomunikasi ini jadi mudah dilalui sebab banyak anak Rimba yang mengajarinya berbahasa Rimba.

Selain perbedaan bahasa dan akses yang sulit ditempuh, wabah malaria juga sempat berkali kali menyerangnya. Bahkan, meski sempat diopname di rumah sakit, semangat mengajar Yohana tak pernah surut. Setelah sembuh, ia tak kapok untuk kembali mengajar di Rimba.

Selain itu, Yohana mengakui bahwa statusnya sebagai pengajar di pedalaman sempat mendapat penentangan dari orang tuanya. Sang ibu, misalnya, awalnya berharap agar anak perempuan satu-satunya itu bisa bekerja di kota, tidak jauh dari keluarga.

Yohana juga berbesar hati menolak berbagai tawaran pekerjaan dengan bayaran yang menggiurkan, apalagi dengan gelarnya sebagai magister Ilmu Antropologi Budaya di UGM dan segudang pengalaman bekerja sebagai peneliti sepanjang tahun 2018. Sebelumnya, ia adalah seorang peneliti kegiatan monitoring dan evaluasi program Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru, Kerjasama dengan Bank Dunia, Februari-Maret 2018.

Pada akhirnya, ia memilih mematuhi jiwa sosialnya untuk mendedikasikan hidupnya demi pemerataan pendidikan anak pedalaman Rimba.

Tetap aktif mengajar di tengah pandemi

Yohana mengajar anak-anak suku asli Rimba 2312

Melansir JEO Kompas.com, anak- anak Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) terancam tidak bisa belajar selama masa pandemi Covid-19. Banyak sekolah yang tidak memiliki akses internet yang layak, sehingga aktivitas belajar mengajar disetop total hingga waktu yang tak ditentukan.

Hal inilah yang mendorong Yohana untuk mendampingi dan mengajari anak-anak Rimba belajar selama pandemi dari hutan ke hutan.

Tak kuasa mendengar anak rimba telantar dari aktivitas belajar, ia pergi ke pedalaman hutan sejak awal April 2020. Ia pun sempat melakukan karantina mandiri selama 20 hari dan memeriksakan diri ke dokter hingga dinyatakan bersih dari Covid 19. Ia tinggal di rumah singgah KKI Warsi, tepatnya di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam.

Ia terkesiap dengan fakta bahwa banyak anak Rimba yang bekerja membantu orang tuanya ketika banyak sekolah ditutup sementara. Untuk itu,  ia berusaha meyakinkan para orang tua untuk mengizinkan anak-anaknya belajar, termasuk dengan meyakinkan bahwa dirinya bebas dari Covid-19.

Yohana pun keluar masuk hutan menjemput anak-anak untuk dikumpulkan di rumah singgah KKI Warsi Jambi. Jarak tempuh dari satu sudung ke sudung lainnya memakan waktu tujuh hingga delapan jam. Perjalanan yang melelahkan ini tak menghalangi niatnya untuk menggelar aktivitas belajar

Ia tak ingin anak-anak Rimba ketinggalan pelajaran selama pandemi. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari Berbagai upaya dilakukan, mulai dari meminjam buku pelajaran kepada kepala sekolah dan berkonsultasi dengan sekolah setempat mengenai materi yang sedang diajarkan. Untuk menghibur anak-anak Rimba selama pandemi, ia membuat aktivitas belajar dan bermain yang nyaman dan menyenangkan.

Segala perjuangan, keberanian dan ketulusan hati Yohana Mapraung untuk memberikan akses pendidikan yang layak bagi anak-anak Rimba mencerminkan tujuan sila kelima Pancasila, yakni ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. 

Hal ini juga sudah disinggung oleh Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Dalam forum yang digelar Deputi Bidang Hukum, Advokasi dan Pengawasan Regulasi BPIP, ia mengatakan, “Pancasila mengingatkan manusia akan hak, kewajiban, dan perlakuan yang sama.”

Berbekal ilmu yang dimilikinya dan iming-iming pekerjaan bergaji besar, Yohana memilih untuk mengabdikan hidupnya untuk pemerataan pendidikan di pedalaman. Tentu hal tersebut bukanlah cita-cita kebanyakan seseorang bergelar master. 

Di luar sana, masih banyak anak-anak Indonesia, khususnya di pedalaman, yang belum mendapatkan pendidikan layak. Yohana berusaha menciptakan keadilan bagi mereka untuk dapat mengecap pendidikan yang setara dengan anak-anak lainnya di balik lebatnya belantara hutan. 

Semoga masih banyak Butet Manurung dan Yohana Marpaung lainnya yang berkontribusi mengurangi kesenjangan pendidikan di Indonesia.

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas