KPK Jadwal Ulang Pemeriksaan Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto
Hermansyah dan Syahroni mendapatkan perintah dari Zainudin Hasan untuk melakukan pungutan proyek pada Dinas PUPR Lampung Selatan sebesar 21 persen
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwal ulang pemeriksaan terhadap Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto.
Nanang harusnya diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan Tahun Anggaran 2016 dan 2017 pada Senin (11/1/2021) kemarin.
Ia dijadwalkan diperiksa untuk tersangka eks Kepala Dinas PUPR Lamsel Syahroni.
Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri menerangkan, Nanang akan diperiksa di hari Rabu (13/1/2021) pekan ini.
"Nanang Ermanto (Bupati Lampung Selatan) diagendakan untuk pemanggilan pemeriksaan di hari Rabu (13/01/2021) dan informasi yang kami terima yang bersangkutan telah terkonfirmasi akan hadir," terang Ali melalui keterangannya, Selasa (12/1/2021).
Baca juga: KPK Limpahkan Berkas Perkara Mantan Bupati Lampung Tengah
KPK menetapkan dua tersangka baru dalam pengembangan kasus suap yang juga menyeret Bupati Kabupaten Lampung Selatan periode 2016-2021 Zainudin Hasan.
Mereka yang menjadi tersangka adalah Hermansyah Hamidi (HH) selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan tahun 2016-2017 dan Syahroni (SY) selaku Kepala Dinas PUPR Lampung Selatan.
Baca juga: KPK Selisik Peran Eks Kadis di Proyek Dinas PUPR Lampung Selatan lewat Plt Bupati Nanang Ermanto
Dalam konstruksi perkara Hermansyah dan Syahroni diduga melakukan perbuatan korupsi bersama-sama dengan Zainudin Hasan, adik Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Hermansyah dan Syahroni mendapatkan perintah dari Zainudin Hasan untuk melakukan pungutan proyek pada Dinas PUPR Lampung Selatan sebesar 21 persen dari anggaran proyek.
Hermansyah meminta kepada Syahroni untuk mengumpulkan setoran yang kemudian nanti diserahkan kepada Agus Bhakti Nugroho yang merupakan Staf Ahli Bupati Lampung Selatan sekaligus sebagai Anggota DPRD Provinsi Lampung Selatan.
Syahroni kemudian menghubungi para rekanan pada Dinas PUPR Lampung Selatan dan meminta setoran dari para rekanan tersebut dan memploting para rekanan terhadap besaran paket pengadaan di Dinas PUPR Lampung Selatan menyesuaikan dengan besaran dana yang disetorkan.
Selain juga dibuat suatu tim khusus yang bertugas untuk melakukan "upload" penawaran para rekanan menyesuaikan dengan ploting yang sudah disusun berdasarkan nilai setoran yang telah diserahkan oleh para rekanan.
Adapun, dana yang diserahkan oleh rekanan diterima oleh tersangka Hermansyah dan Syahroni untuk kemudian disetor kepada Zainudin Hasan yang diberikan melalui Agus Bhakti Nugroho berjumlah seluruhnya Rp72.742.792.145.
Sedangkan besaran dana yang diterima dibagi yang nilainya untuk Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) sebesar 0,5-0,75 persen, bupati sebesar 15-17 persen, dan Kadis PUPR sebesar 2 persen.
Atas perbuatannya, Hermansyah dan Syahroni disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi j.o. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Perkara ini diawali dengan kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 27 Juli 2018.
Dari kegiatan tangkan tangan itu, KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu sebagai pemberi suap adalah Gilang Ramadhan selaku bos CV 9 Naga.
Sedangkan diduga sebagai penerima suap adalah Zainudin Hasan, Bupati Kabupaten Lampung Selatan periode 2016-2021; Agus Bhakti Nugroho, Anggota DPRD Provinsi Lampung; dan Anjar Asmara, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan.
Saat ini seluruh tersangka tersebut telah di vonis oleh majelis hakim Tipikor Tanjung Karang Bandar Lampung dan perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan vonis hukuman antara 2 tahun 3 bulan sampai dengan 12 tahun penjara.