Wamenkumham Luruskan Berita "Warga Tidak Mau Divaksin Bisa Masuk Penjara"
Menurut Eddy, perlu dijelaskan pertanyaan mendasar, apakah vaksinasi itu hak atau kewajiban?
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharif Hiariej meluruskan pernyataan dia di sejumlah media online terkait “Warga Tidak Mau Divaksin Bisa Masuk Penjara”.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini, pengutipan berita tersebut dinilainya tidak utuh dan tendensius.
Menurut Eddy, perlu dijelaskan pertanyaan mendasar, apakah vaksinasi itu hak
atau kewajiban?
Eddy pun merujuk paling sedikit kepada tiga (3) undang-undang.
Pertama, Undang-undang Kesehatan Nomor. 30 Tahun 2009 yang mana pada Pasal 53 ayat 3 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, dalam konteks ini vaksinasi adalah hak.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 di Indonesia Resmi Dimulai, Media Asing Singgung Wapres yang Tak Divaksin di Awal
Kedua, merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dalam Pasal 14 ayat 1 dinyatakan “Bahwa barangsiapa dengan sengaja menghalangi pelaksaan penanggulan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu (1) tahun danatau denda Rp.1.000.000,00.”
Ketiga, merujuk pada Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 2018 tentang Karantia Kesehatan Pasal 93 yang pada dasarnya ancaman pidana berupa denda dan
atau penjara maksimum Rp.100.000.000,00 dan atau satu (1) tahun penjara bagi setiap orang yang tidak mematuhi Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan”.
"Bila merujuk kepada Undang-Undang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Karantina Kesehatan, maka vaksinasi ini merupakan kewajiban artinya ada konsekuensi hukum bila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan," katanya Eddy seperti dikutip dari Kompas TV. Rabu (13/1/2021).
Perlu dipahami bahwa baik Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Wabah Penyakit Menular, maupun Undang-Undang Karantina Kesehatan adalah hukum administrasi yang diberi sanksi pidana sehingga disebut juga ‘hukumpidana administrasi’.
Dalam konteks ini sanksi pidana bersifat ultimum remedium artinya sarana yang paling akhir digunakan untuk menegakkan hukum pidana, apabila pranata penegakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi.
Dengan begitu, kewajiban vaksin yang dicanangkan oleh pemerintah, jika ada warga masyarakat yang menolak divaksin tidak serta merta sanksi pidana itu diterapkan, namun pertama yang dilakukan adalah tindakan-tindakanyang bersifat persuasif.
"Dalam konteks ini sosialisasi mengenai arti pertingnya vaksin termasuk tingkat keberhasilan dan dampaknya menjadi sangat penting. Tegasnya bagi mereka yang menolak vaksin, dapat dijatuhi pidana tetapi tidak berarti harus dijatuhi pidana," tambah Eddy.
Dalam pelaksanannya, kewajiban vaksin ini juga diatur dalam Peraturan Daerah, Peraturan Gurbernur, maupun Peraturan Bupati/Walikota.
Karena kondisi penularan wabah penyakit di masing-masing daerah berbeda antara satu dengan yang lain.
Karena itu, sangat mungkin sikap terhadap kewajiban vaksin antara satu daerah dengan daerah lain berbeda.
Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam konteks kewajiban vaksin yang dicanangkan oleh pemerintah, hukum pidana berfungsi sebagai ultimum remedium atau upaya akhir yang dilakukan jika pranata hukum lainnya tidak lagi berfungsi.
"Harap diingat, ketika seseorang melaksanakan haknya, sedikit – banyaknya akan berbenturan dengan hak orang lain, sehingga dalam pelaksanaan hak, timbul kewajiban untuk menghormati hak orang lain," ujarnya.
Jadi, kata Eddy, kebijakan pemerintah yang mewajibkan vaksinasi adakah dalam rangka melindungi hak masyarakat secara mendasar untuk memperoleh pelayanan kesehatan secara adil terlebih dalam situasi mewabahnya penyakit menular.
Sumber: Kompas TV