Kuasa Hukum Jumhur Hidayat Kritisi Pernyataan Jaksa Soal Perubahan Dakwaan
JPU meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menolak nota keberatan atau eksepsi yang disampaikan Jumhur Hidayat
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menolak nota keberatan atau eksepsi yang disampaikan Jumhur Hidayat, terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong dan membuat keonaran.
Jaksa menyebut pihaknya telah menjalankan semua rangkaian penyidikan sesuai ketentuan hukum.
Menanggapi jawaban jaksa, kuasa hukum Jumhur Hidayat, Oky Wiratama menilai pernyataan jaksa keliru karena menyebut perubahan dakwaan terhadap kliennya sebagai hal biasa.
Dalil perubahan dakwaan itu ada dalam salah satu eksepsi yang disampaikan pihaknya.
Baca juga: JPU Sebut Jumhur Hidayat Akui Perbuatannya Sesuai Surat Dakwaan
Tapi kubu kejaksaan justru menyebut perubahan sebagai renvoi.
"Kemarin kami sampaikan bahwa dakwaan jaksa tidak sah karena telah ada perubahan, lalu jaksa menjawab bahwa itu hal biasa, bahkan sama seperti akta perjanjian," kata Oky ditemui usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (4/2/2021).
Padahal menurutnya dalam kasus pidana, perubahan sebuah dakwaan harus melalui prosedur sebagaimana Pasal 144 ayat (1) KUHAP.
Salah satunya harus diizinkan oleh Ketua Pengadilan.
Baca juga: Didakwa Sebar Berita Bohong dan Buat Onar, Deklarator KAMI Jumhur Hidayat Ajukan Eksepsi
"Itu di Pasal 144 ayat 1 KUHP ada prosedurnya, dakwaan kalau mau diubah harus dimohonkan dulu ke Ketua Pengadilan Negeri. Tidak bisa ujug-ujug megubah surat dakwaan," kata dia.
Jumhur Hidayat Didakwa Sebar Berita Bohong dan Buat Onar di Medsos
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa pentolan KAMI Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
Baca juga: Tim Hukum Jumhur Hidayat Ajukan Penangguhan Penahanan
"Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," imbuh jaksa.
Cuitan Jumhur yang dianggap menyalakan api penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja terjadi pada 25 Agustus 2020. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip - mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.