Pemerintah Yakin Ekonomi Tumbuh Lebih dari 5 Persen, Menteri Airlangga : Sudah Ada Sinyal Pemulihan
Ekonom sebut PSBB dan PPKM jadi penyebab ekonomi Indonesia minus, Pemerintah tetap yakin ekonomi tumbuh lebih dari 5 persen. *
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia dilihat dari produk domestik bruto (PDB) secara kuartalan terkontraksi 0,42 persen di triwulan IV 2020.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2020 bila dibandingkan dengan triwulan IV tahun-tahun sebelumnya hanya terkontraksi tipis.
"Setiap triwulan keempat pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif karena beberapa hal yang paling nyata misalnya saja masalah musiman untuk sektor pertanian. Di mana puncak musim panennya sudah jatuh di triwulan II," kata Suhariyanto saat paparan virtual, Jumat (5/2).
Dia menjelaskan pertumbuhan ekonomi triwulan IV jika dilihat secara tahunan (year-on-year/yoy) terkontraksi 2,19 persen.
"Sementara itu secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia Tahun 2020 mengalami kontraksi 2,07 persen dibandingkan tahun 2019," papar Suhariyanto.
Baca juga: Sektor Pertanian Tumbuh Positif di Tengah Perlambatan Ekonomi Indonesia
Pria yang karib disapa Kecuk ini juga menyatakan data inflasi pada triwulan IV 2020 sebesar 0,79 persen secara kuartalan, namun dibandingkan dengan posisi Desember 2019 terjadi inflasi 1,68 persen.
Adapun realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Triwulan IV 2020 mencapai Rp732,4 triliun atau naik dibanding realisasi periode yang sama tahun sebelumnya Rp704,22 triliun.
"Realisasi penanaman modal yang teratas di BKPM (PMA dan PMDN) selama triwulan IV 2020 sebear Rp124,7 triliun atau naik sebesar 2,7 persen (q-to-q) dan 3,1 persen (y-o-y)," ujarnya.
Kecuk mengatakan capaian negatif ini tidak hanya dialami Indonesia tetapi beberapa negara lainnya di dunia.
Mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat tumbuh minus 3,5 persen, Singapura minus 5,8 persen, Korea Selatan minus 1,0 persen, Hongkong minus 6,1 persen, dan Uni Eropa minus 6,4 persen.
"Di tahun 2021, pandemi memang masih melanda dan memang tidak mudah untuk menyelesaikannya setiap negara melakukan pendekatan berbeda-beda dengan hasil tidak sama," kata dia.
Baca juga: Tanggapi Konstraksi Ekonomi Indonesia, Pemerintah Dinilai Belum Habis-habisan Atasi Pandemi
Dia menyampaikan beberapa indikator menunjukkan hasil perbaikan misalnya nilai PMI (Purchasing Manager's Index) dari IHS markit pada Januari 2021 ini meningkat 52,2 persen.
Kecuk meyakini sektor industri RI sudah mulai bergeliat, begitu juga nila ekspor dan impor pada triwulan IV meningkat pesat.
"Jadi betul ada tantangan tapi juga banyak data-data indikator menunjukkan perbaikan. Kita semua sepakat kelancaran program vaksinasi dan kepatuhan pada protokol kesehatan menjadi kunci penting memulihkan perekonomian," tuturnya.
Menanggapi survei BPS, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, meski ekonomi berkontraksi sebesar minus 2,07 persen, tapi sudah ada sinyal pemulihan.
"Tahun 2020 kita melihat bahwa sinyal positif pemulihan ekonomi sudah terlihat di kuartal IV. Angka secara kuartalan (quartal to quartal/qtq) ini sudah ada sedikit peningkatan," ujarnya.
Airlangga menjelaskan, sinyal pemulihan secara qtq yaitu dari minus 5,2 persen di kuartal II ke 3,49 persen di kuartal III, dan yang saat sekarang kuartal IV berada di minus 2,19 persen.
"Tentu ini akan terus diperhatikan dan perbaikan ini tentu tidak lepas dari intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Konsumsi pemerintah mencapai (kenaikan) 1,76 persen secara year on year," katanya.
Kemudian, realisasi program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi sebesar Rp 579,78 triliun dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 94,6 persen.
Menurut Airlangga, tentunya ini meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk melakukan konsumsi meski terkontraksi, tapi secara kuartalan positif.
"Tingkat konsumsi rumah tangga terkontraksi sebesar minus 3,61 secara year on year. Namun, tumbuh positif secara kuartal per kuartal yakni 0,49 persen di kuartal IV dibandingkan kuartal sebelumnya," ujarnya.
Momentum pemulihan ekonomi kata Airlangga diperkirakan terus berlanjut di 2021.
Karena itu, pemerintah memperkirakan ekonomi bisa tumbuh hingga 5 persen lebih.
"Diperkirakan ekonomi akan tumbuh di kisaran 4,5 persen sampai 5,5 persen. Ini didukung oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor," ujarnya.
Untuk memastikan hal ini, pemerintah mempersiapkan tiga strategi utama untuk game changer antara lain yaitu mempertahankan daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Caranya yakni dengan melanjutkan program perlindungan sosial yang difokuskan pada masyarakat menengah ke bawah.
Kemudian, lanjut Airlangga, melalui bentuk Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Prakerja, dan di saat yang sama pemerintah berkomitmen menjaga keberlanjutan dunia usaha. Menjaga keberlanjutan usaha ini juga dengan adanya dukungan kepada UMKM, korporasi, serta koperasi sebagai program prioritas.
Selanjutnya, dia menambahkan, pemerintah juga mendorong kepercayaan konsumen dari kelompok menengah ke atas untuk berbelanja dengan percepatan penanganan Covid-19.
"Selain itu, juga untuk agar masyarakat bisa berbelanja dari seluruh tingkatan dengan melakukan vaksinasi untuk masyarakat yang ditargetkan. Melalui kegiatan (vaksinasi) untuk mencapai herd immunity ke 182 juta penduduk," ujar Airlangga.
Baca juga: Pemerintah Masih Optimistis Ekonomi Tumbuh 5 Persen Lebih di 2021, Kok Bisa?
Ketua Umum Partai Golkar ini juga memprediksi ekonomi Indonesia mentok tumbuh 2 persen di kuartal I 2021.
"Tentunya kita berharap bahwa masih ada pertumbuhan positif di kuartal I. Rentangnya kita perkirakan 1,6 persen sampai dengan 2 persen," ujarnya.
Airlangga menjelaskan, satu yang memang jadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah itu adalah mendorong sektor konsumsi rumah tangga hingga tumbuh 1,3 persen sampai 1,8 persen.
Kemudian, konsumsi pemerintah juga diharapkan yang biasanya di kuartal pertama itu rendah yaitu sekira 3 persen sampai 4 persen mesti ditingkatkan.
"Nah ini kita dorong supaya kalau bisa naik antara 4 persen sampai 5 persen," kata Airlangga.
Selain itu, PR berikutnya adalah mendorong ekspor dan impor dengan menyelesaikan kendala teknis di sisi logistik kontainer. "Kita ketahui bersama dari ekspor impor ini terjadi lonjakan ekspor dan saat sekarang masalah teknis yang dihadapi adalah kekurangan kontainer. Pemerintah segera menangani masalah ini, sehingga permintaan yang melonjak itu bisa diantisipasi," pungkas Airlangga.
Kebijakan Blunder
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan ekonomi Indonesia minus 2,07 persen di 2020, di antaranya karena kebijakan New Normal yang dipaksakan terbukti blunder.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, di satu sisi ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan.
"Tapi, PSBB (pembatasan sosial berskala besar) jalan terus, operasional berbagai jenis usaha dibatasi. Ini kebijakan abnormal," ujarnya.
Menurut Bhima, kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun meski ada vaksin dan juga new normal.
"Tapi, kenapa ada PPKM? Kenapa kasus harian masih tinggi? Ini jadi pertanyaan di benak konsumen," katanya.
Selain itu, dia menambahkan, stimulus program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terbukti kurang efektif karena ada perencanaan yang salah di awal pembentukan PEN.
Masalah utama dinilainya adalah kurangnya dukungan pada sisi kebijakan permintaan yakni perlindungan sosial Rp 220,3 triliun dan realisasi belanja kesehatan Rp 63,5 triliun.
Angka ini, lanjut Bhima, masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain misalnya untuk pembiayaan korporasi Rp 60,7 triliun, insentif usaha Rp 56,1 triliun, sektoral kementerian, lembaga, dan pemda Rp 66,5 triliun dan insentif UMKM Rp 112 triliun.
"Idealnya pemerintah mendorong sisi permintaan dibanding fokus pada sisi penawaran. Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha," ujarnya.
Bhima Yudhistira juga mengatakan, ekonomi minus ini menunjukkan kegagalan menangani pandemi.
"Kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pandemi, sehingga masyarakat masih menahan untuk berbelanja," ujarnya.
Baca juga: Tanggapi Konstraksi Ekonomi Indonesia, Pemerintah Dinilai Belum Habis-habisan Atasi Pandemi
Bhima menjelaskan, kelompok pengeluaran menengah dan atas berperan hingga 83 persen dari total konsumsi nasional.
"Untuk memulihkan permintaan kelompok ini kuncinya adalah penanganan pandemi, hal ini yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah," katanya.
Menurut dia, meskipun vaksinasi mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir 2020, tapi timbul pesimisme terkait jenis yang digunakan.
Selain itu, ada masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) jilid I menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam.
"Jadi, optimisme pemulihan ekonomi yang lebih cepat dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," pungkas Bhima.(TribunNetwork/nas/van/wly)