AMSI: Industri Media Tiba-tiba Harus Ikuti Cara Kerja Algoritma yang Seringkali Ganggu Kualitas
Artinya pers cenderung menulis apa yang disukai publik, bukan yang seharusnya penting bagi publik.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Konsekuensi atau dampak ketika distribusi produksi dan konten berita media yang dikuasai oleh platform adalah selera publik menyetir jurnalisme.
Artinya pers cenderung menulis apa yang disukai publik, bukan yang seharusnya penting bagi publik.
Hal itu merupakan dampak langsung dari disrupsi digital bagi dunia jurnalistik di Indonesia.
Hal itu disampaikan Ketua Departemen Kemitraan dan Hubungan Internasional AMSI, Anthony Wonsono dalam Konvensi Nasional Media Massa HPN 2021, seperti disiarkan langsung di Channel Youtube Dewan Pers, Senin (8/2/2021).
Ini menurut dia, konsekuensi yang terjadi ketika distribusi produk media dilakukan oleh platform, yakni jurnalistik versus algoritma.
“Pada saat ini algoritma sangat mempengaruhi cara kerja jurnalis di newsroom. Industri pers tiba-tiba harus mempertimbangkan cara kerja mesin dalam produk mereka dan seringkali ini mengganggu kualitas,” ujar Anthony Wonsono.
Karena lanjut dia, media akan lebih mengejar isu-isu yang lebih disukai, dikunjungi dan banyak dikomentari publik.
“Pers seringkali menulis apa yang disukai, diklik dan dikomentari oleh banyak orang. Akibatnya selera publik yang menyetir jurnalisme. Pers cenderung menulis apa yang disukai publik, apa yang seringkali bisa dianggap juga clickbait daripada ketimbang apa yang seharusnya penting bagi publik,” jelasnya.
Baca juga: Menkumham Yasonna Laoly Kenang Saat Dirinya Jadi Loper Koran di Amerika
“Hal ini bisa berbahaya terhadap kelanjutan industri media yang sangat berdampak pada isu-isu Nasional yang ada di Indonesia,” paparnya.
Konsekuensi lainnya terkait isu jurnalis versus nitizen.
Seringkali dia menjelaskan, platform mendistribusikan konten tanpa membedakan produksi media melalui serangkaian mekanisme kerja jurnalistik dengan yang tidak.
“Itu sebabnya, konten berkualitas dan konten abal-abal dinilai sama derajatnya. Seringkali kita harus mengakui bahwa masyarakat umum tidak bisa membedakan konten yang berkualitas dengan konten yang tidak ada basisnya,” jelasnya.
Menurut dia, ini akan sangat bahaya karena cenderung akan mengakibatkan penyesatan pada publik.
Terakhir, imbuh dia, isu terkait kebergantungan modal bisnis industri media terhadap platform (sustainability).
Dengan adanya kebergantungan industri pers di Indonesia kepada iklan, kata dia, maka perusahaan-perusahaan pers sangat bergantung kepada platform.
“Namun selama berjalan hubungan kerjasama atau isu komersial ini selama 10 tahun terakhir belum ada diskusi serius antara platform dengan industri media yang bisa menjembatani perubahan-perubahan yang kita selalu alami, inovasi-inovasi yang baru yang kita semua menghadapi bersama,” katanya.
Sudah Ada Media Tutup Selama Pandemi
AMSI menyebut sekitar tiga perusahaan media siber di Indonesia tutup selama pandemi Covid-19.
“Secara keseluruhan hanya sekitar dua atau tiga perusahaan di asosiasi media siber Indonesia yang pada saat ini sudah benar-benar tutup,” ujarnya.
Bukan hanya itu, dari 340 anggota AMSI di seluruh Indonesia, kata dia, sudah melakukan sejumlah kebijakan untuk tetap bisa bertahan di masa pandemi Covid-19.
Anthony Wonsono menyebut hasil survei AMSI 2020 di awal pandemi Covid-19 (April-Mei 2020), sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.
“Sudah nanyak yang melakukan PHK pada saat ini, sudah lebih 30 persen yang melakukan PHK atas karyawan-karyawan perusahaan-perusahaan media,” sebut Anthony Wonsono.
“Kami melihat yang di awal adalah Jawa Timur, Papua dan Kalimantan Timur. Tetapi pada ujung-ujungnya hampir semua provinsi, semua daerah sudah harus melakukan suatu aspek PHK,” jelasnya.
Kedua, perusahaan-perusahaan media sudah tidak lagi melakukan perekrutan karyawan. Data survei menunjukkan 80 persen anggota AMSI membatalkan perekrutan anggota baru.
“Sekitar 80 persen media anggota membatalkan perekrutan anggota baru,” ujarnya.
“Dan hampir 100 persen sudah tidak lagi ada perekturtan tenaga baru,” jelasnya.
Selain itu kata dia, perusahaan-perusahaan media juga sudah melakukan pemotongan gaji kepada karyawannya. AMSI mencata 45 persen perusahaan media sudah melakukan kebijakan pemotongan gaji.
“Kita masih melihat itu hal itu masih terjadi sampai hari ini,” ucapnya.
Kemudian terkait revenue. AMSI mencatat 30-40 persen industri media sudah mengalami penurunan revenue selama pamdemi Covid-19.
Kelima AMSI mencatat perusahaan-perusahaan media sudah melakukan penundaan gaji terhadap karyawannya.
“Sekitar 15 persen dari anggota perusahaan media di AMSI sudah melakukan pendundaan gaji. Tentu cara dan durasinya bervariasi,” jelasnya.
Keenam terkait merumahkan karyawan. Survei menunjukkan hampir 50 persen dari semua perusahaan media anggota AMSI sudah merumahkan karyawan secara bertahap selama pandemi Covid-19.
Terakhir, lanjut dia, terkait daya tahan perusahaan-perusahaan media siber Indonesia selama pandemi ini.
“Ini yang sangat menyakitkan pada saat itu di bulan Mei kami mempertanyakan daya tahan perusahaan media siber Indonesia. Kita melihat rata-rata media siber Indonesia hanya ada sisa empat hingga lima bulan cashflow untuk bisa menjalankan kegiatan operasionalnya,“ jelasnya.(*)