Pengamat: Ada Insentif yang Didapat Parpol Ketika Taat ke Jokowi Soal RUU Pemilu
Partai koalisi pendukung pemerintah telah memutuskan untuk tidak melanjutkan revisi Undang-Undang Pemilu.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai koalisi pendukung pemerintah telah memutuskan untuk tidak melanjutkan revisi Undang-Undang Pemilu.
Awalnya, NasDem dan Golkar bersuara lantang untuk melakukan revisi UU Pemilu.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, politik merupakan sesuatu yang rasional dan politikus digerakan oleh insentif yang juga rasional.
Baca juga: Ini Alasan NasDem dan Golkar Tak Ingin Lanjutkan Pembahasan RUU Pemilu
"Insentif buat partai politik yaitu dukungan publik dan insentif buat presiden juga dukungan publik," ujar Burhanuddin saat acara rilis Indikator Politik secara daring, Senin (8/2/2021).
Namun, dukungan publik tidak berpengaruh lagi untuk Presiden Jokowi, sejak dirinya terpilih menjadi Presiden RI kembali pada 2019.
Sedangkan untuk partai politik pendukung pemerintah, kata Burhanuddin, insentif dukungan elektoral masih dibutuhkan karena akan bertarung pada Pemilu 2024.
"Masalahnya Pemilunya masih lama, jadi buat partai pendukung pemerintah, Golkar, PDIP, PKB, Nasdem, mereka saya kira sadar bahwa poin-poin yang berkaitan dengan revisi Undang-Undang Pemilu tidak populer," paparnya.
"Jangan lupa, memori pemilih kita kan pendek. Jadi mungkin itu yang membuat insentif tadi lebih berkurang, untuk mengikuti aspirasi publik (ingin adanya revisi UU Pemilu)," sambung Burhanuddin.
Baca juga: Pengamat : Kalau Bukan Perintah Jokowi, NasDem dan Golkar Tak Balik Badan Soal RUU Pemilu
Sementara insentif untuk taat kepada Presiden, Burhanuddin menyebut sudah sangat jelas yaitu perwakilan partai tetap ada di kursi eksekutif.
"Jadi menterinya tetap, sukur-sukur ditambah kalau taat. Itu insentif yang jelas, kalau insentif 2024 masih jauh," kata Burhanuddin.
"Kalau sekarang (Parpol) tidak sesuai aspirasi publik, masih ada waktu sembari memanfaatkan memori pemilih yang pendek," paparnya.
Diketahui, RUU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021 yang akan dibahas DPR. Namun, daftar ini belum diputuskan dalam rapat paripurna DPR.
RUU tersebut menggabungkan UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 dan UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016.
Naskah revisi UU pemilu salah satunya mengatur pelaksanaan Pilkada pada 2022 dan 2023. DKI Jakarta turut menjadi daerah yang menggelar Pilkada tersebut.
Dalam UU Pemilu sebelumnya, Pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota digelar pada 2024 bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD dan presiden.
Tujuh fraksi di DPR mendukung Pilkada serentak 2024 yaitu PDIP, PKB, Gerindra, PPP, Golkar, NasDem, dan PAN.
Sementara, PKS dan Demokrat menginginkan Pilkada 2022-2023 tetap dilaksanakan.