Amnesty International: Pernyataan Presiden soal UU ITE Tidak Boleh Jadi Sekadar Jargon
Usman Hamid: langkah pertama yang harus dilakukan Jokowi adalah membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE
Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus memberi rasa keadilan kepada masyarakat.
Namun demikian Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pernyataan tersebut tidak boleh menjadi sekadar jargon.
Baca juga: Tanggapi Soal Perdebatan Revisi UU Pemilu dan Pilkada, Mensesneg: Jangan Dikit-dikit UU Diubah
Untuk itu, kata Usman, langkah pertama yang harus dilakukan Jokowi adalah membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE hanya karena mengekspresikan pandangannya secara damai.
“Kami mengapresiasi pernyataan Presiden bahwa UU ITE harus memberi rasa keadlian kepada masyarakat, tetapi ini tidak boleh menjadi sekedar jargon,” kata Usman dikutip dari laman resmi Amnesty Inernational Indonesia, amnesty.id, pada Rabu (17/2/2021).
Baca juga: Revisi UU ITE, PKB: Perlu Diperjelas Definisi dan Batasan dalam Pasal-pasal Karet
Baca juga: Ada Usulan Revisi UU ITE, Legislator NasDem: Fokus Pemberantasan Hoaks dan Ujaran Kebencian
Baca juga: Istana Tolak Revisi UU Pemilu, Pratikno Bantah untuk Halangi Anies dan Calonkan Gibran di Pilgub DKI
Usman mengatakan pemerintah wajib menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk mereka yang memiliki pandangan bertentangan dengan pemerintah.
Hal yang juga tak kalah penting, kata Usman, pemerintah juga harus menyadari bahwa perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak berhenti sampai di revisi UU ITE.
Menurutnya ada pasal dalam undang-undang lain yang juga sering digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi misalnya pasal makar dalam KUHP untuk menjerat saudara kita di Papua yang mengekspresikan pandangan mereka secara damai.
Menjamin keadilan di tengah masyarakat, kata Usman,harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak diskriminatif.
“Di sisi lain, Polisi juga harus menggunakan perspektif hak asasi manusia dalam menegakkan hukum agar tidak melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi," kata Usman.
Sepanjang 2020, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.
Amnesty mencatat jumlah kasus tersebut adalah jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.
Baca juga: Anggota DPR: Banyak Korban dari Pasal Multitafsir UU ITE, Ini Harus Direvisi
Menurut Amnesty banyak di antaranya dituduh melanggar UU ITE setelah menyatakan kritik terhadap kebijakan pemerintah misalnya tiga pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yakni Jumhur Hidayat, Anton Permana dan Syahganda Nainggolan yang saat ini sedang menjalani persidangan.
Amnesty juga mengingatkan bahwa hak seluruh masyarakat atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 34 atas Pasal 19 ICCPR.
Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, tepatnya pada Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Baca juga: KPK: RUU Perampasan Aset Berikan Efek Jera Sekaligus Bermanfaat untuk Negara
Diberitakan sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti banyaknya masyarakat yang saling melaporkan ke polisi dalam beberapa waktu belakangan ini menggunakan pasal Undang-undang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE).
Dalam rapat pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin, (15/2/2021), presiden mengatakan akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE, bersama pemerintah, apabila undang-undang tersebut tidak memberikan rasa keadilan.
"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini," kata Jokowi.
Revisi UU ITE tersebut kata presiden terutama dilakukan pada pasal-pasal karet yang multi tafsir. Pasal-pasal yang bisa ditafsirkan secara sepihak.
"UU ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini, revisi," katanya.
Meskipun demikian kata Presiden ruang digital di Indonesia tetap harus dijaga. Tujuannya agar ruang digital di Indoensia sehat dan beretika.
"Agar penuh dengan sopan santun, agar penuh dengan tata krama, dan produktif," pungkasnya.