Soroti soal Sanksi Bagi Penolak Vaksin, PKS: Pemerintah Langgar Kesepakatan dengan DPR
pendekatan denda dan sanksi atas sesuatu yang bersifat pilihan berpotensi melahirkan bibit otoritarian.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Sanusi
![Soroti soal Sanksi Bagi Penolak Vaksin, PKS: Pemerintah Langgar Kesepakatan dengan DPR](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/skrining-pedagang-pasar-tanah-abang-untuk-vaksinasi-covid-19_20210216_205641.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi menjadi dasar hukum pemberian sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksin.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher mengkritik kebijakan tersebut sebagai inkonstitusi.
"Pemerintah melanggar kesimpulan rapat kerja dengan Komisi IX pada 14 Januari 2021 (poin 1 huruf g) yang menyepakati bahwa pemerintah tidak mengedepankan denda atau pidana," kata Netty melalui keterangannya, Rabu (17/2/2021).
Baca juga: Lampu Hijau BPOM untuk Vaksin Buatan Bio Farma, Bagaimana Mutunya?
"Saya menilai sikap ini menunjukkan ketiadaan itikad baik pemerintah, sebab Tatib DPR RI menyebutkan hasil rapat baik berupa keputusan atau kesimpulan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Bagaimana rakyat mau ikut aturan, jika pemerintah sendiri melanggarnya," imbuhnya.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Tahap Dua, Hari Ini Pedagang Pasar Tanah Abang Disuntik
Baca juga: Kemenpora Prioritaskan Atlet Terima Vaksin Dapat Sambutan Positif Humas PP PBSI
Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini, pendekatan denda dan sanksi atas sesuatu yang bersifat pilihan berpotensi melahirkan bibit otoritarian.
Sementara, rakyat sedang menikmati demokrasi, maka negara harus terus memperbaiki diri dengan melakukan pendekatan persuasif melalui edukasi dan komunikasi.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Sputnik V Sukses, Menteri Urusan Ekonomi Jerman Ucapkan Selamat Kepada Rusia
"Denda atau sanksi atas sesuatu yang ada ruang pilihan, dapat membuat rakyat berpikir pemerintah menggunakan tangan besi. Jangan sampai karena tidak sependapat dengan pemerintah, negara mencabut hak fundamental rakyat akan jaminan sosial dan layanan administratif," ucap Netty.
Netty mengingatkan pemerintah agar memperbaiki pola komunikasi publiknya sehingga masyarakat memahami tujuan program, memiliki kesadaran, dan akhirnya bersedia mengikuti secara sukarela.
"Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman, betapa kelemahan komunikasi publik hanya menimbulkan kebingungan, kepanikan, bahkan civil disobedience, pembangkangan sosial," ujarnya.
Selain itu, kata Netty, pemberian denda dan sanksi akan membuat masyarakat makin tertekan dan terbebani di tengah dampak sosial ekonomi pandemi yang menambah jumlah penduduk miskin Indonesia.
Badan Pusat Statistik merilis pada September 2020, jumlah penduduk miskin Indonesia adalah 27,55 juta orang atau setara dengan 10,19 persen.
"Bagaimana masyarakat tidak abai soal denda vaksin, jika untuk urusan kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang saja mereka masih kesulitan. Bukankah pemerintah seharusnya memastikan rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya dengan memberikan dukungan? Jangan sampai aturan denda dan sanksi malah membuat negara makin memiskinkan rakyatnya," pungkas Netty.