Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

BPIP: Kritikan Sekarang Lebih Kepada Benci Serta Tidak Berdasarkan Fakta dan Data

Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo menanggapi terkait ruang demokrasi yang terjadi saat ini.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
zoom-in BPIP: Kritikan Sekarang Lebih Kepada Benci Serta Tidak Berdasarkan Fakta dan Data
Fitri Wulandari/Tribunnews.com
Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Romo Benny Susetyo. 

Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail

TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo menanggapi terkait ruang demokrasi yang terjadi saat ini.

Salah satunya mengenai ruang kritik yang dinilai seolah olah dibungkam.

Menurutnya harus dibedakan antara kritik, fitnah, dan hoaks.

Menurutnya saat ini di dalam ruang demokrasi tumbuh subur kritik yang tidak berdasarkan fakta dan data yang akhirnya hanya menghancurkan karakter manusia.

Baca juga: Pertanyaannya Soal Cara Kritik Tanpa Dipolisikan Dianggap Provokasi, JK: Saya Bertanya dengan Tulus

“Persoalan kita di ruang demokrasi apakah bebas sebasnya dengan membuat argumentasi tidak berdasarkan fakta dan data, menyinggung sara, dan bahkan diluar batas yaitu menghancurkan karakter seseorang,” ujarnya kepada tribunnews.com, Rabu (17/02/2021).

Lebih lanjut dijelaskan Benny kritik merupakan bumbu demokrasi dan semua orang butuh kritikan karena akan membangun sebuah kesadaran etis.

Berita Rekomendasi

Akan tetapi, sekarang ini banyak kritik yang justru dapat menghancurkan ruang demokrasi.

Baca juga: JK Tanggapi Jawaban Istana soal Cara Kritik Pemerintah dengan UU ITE: Kasih Rambu yang Lebih Ringkas

“Kritik demokrasi sekarang itu kerap kali lebih kepada menghancurkan karakter seseorang dan tidak berdasarkan data dan fakta tapi lebih kepada kebencian dan sentimen ini yang merusak ruang demokrasi,” jelasnya.

Dalam ruang demokrasi menurut dia ada dialektika yang dimana masing-masing memberi argumentasi data dan fakta berbeda.

Benny menambahkan yang tidak wajar adalah menghancurkan karakter seseorang.

Jika kritik tanpa membunuh karakter maka tidak akan ada yang terkena hukuman karena melanggar UU ITE.

Dalam demokrasi dibutuhkan pula proses dialektika.

Baca juga: Waketum MUI Sarankan Jokowi Bentuk Dewan Kerukunan Nasional Jika Siap Dikritik

“Proses dialektika dalam demokrasi harus ada untuk menemukan titik temu. Yang terjadi sekarang membawa orang ketidaksadaran tanpa data dan fakta yang akhirnya berujung pembulian dan termasuk dalam pelanggaran UU ITE. Menyampaikan kritik tidak akan ditahan karena bangsa ini butuh orang kritis dalam pengertian yang bukan menyalahkan saja tapi memberi solusi,” kata Benny.

Dunia demokrasi ini mengalami kegagapan dalam artian masyarakat hanya mengungkapkan umpatan tanpa solusi bagi bangsa ini.

Kritik juga tidak boleh merusak martabat kemanusiaan.

“Kritik itu pedas tapi berdasarkan fakta data dan kenyataan. Tapi jika memanipulasi keadaan itu bukan kritik. Fakta, data, dan kenyataan harus seimbang harus bisa dikatakan kritik. Terpenting tidak boleh kritik merusak martabat kemanusiaan,” ujar Benny.

Baca juga: Jokowi Minta Dikritik, Demokrat: Mungkin Ditujukan ke Pendukungnya yang Selama Ini Hanya Memuji 

Benny menjelaskan kedepannya ruang demokrasi harus dibangun dengan kesadaran etis, kesadaran berargumentasi, dan kesadaran untuk membangun wacana, itulah ruang demokrasi yang sesungguhnya.

“Ruang demokrasi yang sehat perlu nalar yang sehat. Kritik harus meluruskan sesuatu yang salah. Gagasan harus dilawan dengan gagasan,” ujar Benny.

Benny berharap bahwa ruang demokrasi membutuhkan ruang publik yang sehat dan terbebas dari isu SARA dan penghinaan pribadi.

"Ruang demokrasi membutuhkan ruang publik yang sehat dari unsur kebencian , menghinaan pribadi , unsur sara serta rekayasa kebohongan," ujarnya.

Sebelumnya masalah kritik mencuat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat menyampaikan kritik kepada pemerintah agar pelayanan publik menjadi lebih baik.

Permintaan Presiden tersebut lantas dinilai sejumlah pihak sebagai pepesan kosong karena banyak yang tersangkut hukum karena melontarkan kritik kepada pemerintah.

Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam diskusi yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mempertanyakan bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa berurusan dengan Polisi.

Masalah kritik tersebut kemudian dikaitkan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai menjadi alat untuk "membungkam" mereka yang mengkritik pemerintah.

Ramainya masalah kritik tersebut, kemudia direspon pemerintah yang mewacanakan revisi UU ITE.

Dalam rapat pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin, (15/2/2021). Presiden mengatakan akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE, bersama pemerintah, apabila undang-undang tersebut tidak memberikan rasa keadilan.

"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini," kata Jokowi.

Revisi UU ITE tersebut kata presiden terutama dilakukan pada pasal-pasal karet yang multi tafsir. Pasal-pasal yang bisa ditafsirkan secara sepihak.

"UU ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini, revisi," kata Jokowi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas