Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Diduga Terkait Kasus Suap Benur, Vila dan Tanah 2 Hektar di Desa Cijengkol Disita KPK

Plt Juru Bicara Ali Fikri mengungkapkan, vila dan tanah tersebut diduga milik mantan Menteri KKP Edhy Prabowo,

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sanusi
zoom-in Diduga Terkait Kasus Suap Benur, Vila dan Tanah 2 Hektar di Desa Cijengkol Disita KPK
Tribunnews/Irwan Rismawan
Tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan, di Jakarta Selatan, Senin (18/1/2021). Edhy Prabowo diperiksa terkait kasus dugaan suap ekspor benih lobster. Tribunnews/Irwan Rismawan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita 1 unit vila beserta tanah seluas 2 hektare di Desa Cijengkol, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Kamis (18/2) pukul 18.00 WIB.

Penyitaan berkaitan dengan kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Plt Juru Bicara Ali Fikri mengungkapkan, vila dan tanah tersebut diduga milik mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, yang terjerat dalam kasus ini.

Baca juga: Istri YouTuber Arief Muhammad Positif Covid-19, Tipang: Akhirnya Virus Ini Memilihku

“Diduga villa tersebut milik tersangka EP (Edhy Prabowo) yang dibeli dengan uang yang terkumpul dari para eksportir yang mendapatkan izin pengiriman benih lobster di KKP,” kata Ali.

Ali berkata bahwa usai dilakukan penyitaan, tim penyidik KPK lantas memasang papan keterangan penyitaan pada vila tersebut. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan tujuh tersangka.

Baca juga: KKP Kumpulkan Bukti Kerusakan Terumbu Karang Sikapi Kapal Kandas di Raja Ampat

Ketujuh tersangka itu yakni, Edhy Prabowo, tiga staf khusus Edhy, Andreau Pribadi Misanta, Safri serta Amril Mukminin; Siswadi selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo; Ainul Faqih selaku Staf istri Menteri KP; dan Suharjito selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama. Edhy bersama Safri, Andreau Pribadi Misanta, Siswadi, Ainul Faqih, dan Amril Mukminin diduga menerima suap sebesar Rp 10,2 miliar dan 100 ribu dolar AS dari Suharjito.

Baca juga: Menteri KKP Trenggono Hentikan Ekspor Benih Lobster Sampai Ditemukan Solusi Terbaik

Suap tersebut diberikan agar Edhy memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benur.

Berita Rekomendasi

Sebagian uang suap tersebut digunakan oleh Edhy dan istrinya Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020.

Sekitar Rp 750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton serta baju Old Navy.

Penyidik KPK juga menelusuri penyewaan apartemen yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Penyewaan unit apartemen yang diduga peruntukannya bagi orang lain itu dikerjakan oleh sekretaris pribadi Edhy, Amiril Mukminin.

Untuk mendalami dugaan ini, tim penyidik KPK memeriksa seorang saksi bernama Putri Elok pada kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster (BBL) yang telah menjerat Edhy dan Amiril.

"Putri Elok (swasta), didalami pengetahuannya terkait adanya penyewaan unit apartemen oleh AM (Amiril Mukminin) atas perintah EP (Edhy Prabowo)," ujar Ali.

Ali mengatakan, uang yang digunakan untuk menyewa apartemen tersebut diduga bersumber dari para eksportir yang mendapat izin ekspor BBL.

"Adapun sumber uang untuk penyewaan apartemen tersebut diduga berasal dari para eksportir yang mendapatkan izin ekspor benur (BBL) di KKP," kata Ali.

Cerita Edhy Prabowo Pinjam Kartu Kredit Anak Buah saat Belanja di Hawaii

Sidang perkara dugaan suap terkait perizinan ekspor benih lobster (benur) yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo menguak sebuah fakta menarik.

Dalam sidang dengan terdakwa Suharjito yang digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (17/2), terungkap bahwa Edhy ternyata sempat meminjam kartu kredit milik anak buahnya, yakni Pelaksana tugas Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Muhammad Zaini Hanafi.

Zaini adalah satu dari sejumlah pejabat KKP yang ikut rombongan Edhy dalam lawatan ke Hawaii, Amerika Serikat pada 18 November 2020.

Baca juga: KPK Telusuri Aliran Dana dari Eksportir BBL untuk Keperluan Pribadi Edhy Prabowo dan Istri

Baca juga: Cerita Edhy Prabowo Batal Beli Jam Rolex Karena Kartu Kreditnya Tak Bisa Digunakan

Zaini mengaku kepergiannya bersama rombongan saat itu dalam rangka dinas melakukan pemantauan ABK WNI yang bekerja di kapal AS dan tugas berkaitan dengan budidaya.

Setelah urusan dinas selesai, Zaini, Edhy, dan rombongannya berjalan-jalan menikmati Hawaii.

Zaini juga sempat menemani Edhy dan istrinya membeli sejumlah barang mewah di Hawaii.

"Jadi waktu di Hawaii, setelah sampai ternyata di depan hotel ada toko. Kami masuk ke dalam toko ramai-ramai. Ada saya, Pak Menteri (Edhy), Ibu (istri Edhy Iis Rosita), Pak Haikal, dan beberapa orang. Ada Pak Ngabalin juga. Kita ke sana dan lihat-lihat. Lalu Pak Menteri beli jam rolex satu, dan kemudian dibayar," kata Zaini.

Setelah Edhy membeli jam mewah tersebut, istrinya ternyata juga ingin punya jam yang sama. Edhy pun kemudian berniat membelikan istrinya jam serupa.

Tapi niat itu batal terlaksana karena saat akan membayar, kuota kartu kredit Edhy ternyata sudah melebihi limit.

Baca juga: Setujui Edhy dan Juliari Dihukum Mati, Mantan Ketua KPK: Bisa Buat Orang Takut Korupsi

Baca juga: Juliari dan Edhy Prabowo Disebut Layak Dituntut Hukuman Mati, PPP: Lebih Baik Serahkan Kepada KPK

"Kemudian ibu (Iis) ingin membeli juga, dan ternyata kuota kartu kreditnya atau apanya saya kurang ngerti, itu kehabisan," ungkap Zaini

Lantaran kartu kreditnya tak bisa dipakai, Edhy meminjam kartu kredit milik Zaini. Zaini mengaku kartu kreditnya dipinjam untuk membelikan Iis jam tangan.

Namun, tidak jadi juga lantaran kartu kredit Zaini ternyata juga tidak berfungsi.

"Kemudian Ibu (istri Edhy) juga ingin beli juga. Nah, ternyata kuota kartu kredit atau debitnya kehabisan, dan nanya ke saya 'Pak Zaini ada kartu kredit nggak? Bisa dipakai nggak? Saya pinjam', tapi begitu dicoba kartu kredit kami nggak bisa, karena ada yang belum dibuka. Jadi kalau jumlah besar harus lapor dulu ke bank, baru bisa dipakai, ternyata karena saya nggak lapor dulu kalau ke luar negeri, jadi nggak bisa dipakai," lanjut Zaini.

Keesokan harinya Edhy kembali meminjam kartu kredit milik Zaini. Kali ini ia meminjam kartu kredit untuk membelikan tas, parfum, dan syal merek Hermes untuk istrinya.

"Besok paginya baru minjam kartu kredit lagi, beli tas Hermes, parfum, sama syal," tuturnya.

Zaini mengungkapkan total belanja Iis saat itu mencapai USD 14.200 atau jika dirupiahkan dengan kurs saat ini totalnya sekitar Rp 200 juta. Iis membeli barang-barang mewah merek Hermes dan sepatu merek Chanel.

"Tas Hermes USD 2.600, parfum masih Hermes USD 300, satu lagi syal Hermes USD 2.200, bros harganya saya lupa, dan sepatu Chanel USD 9.100," ungkap Zaini.

Jaksa KPK kemudian memastikan apakah Zaini sengaja memberikan pinjaman atau Edhy dan istri yang meminjamnya. "Itu Saudara beliin atau dipinjam?" tanya jaksa KPK.

"Pinjam Pak, bukan saya nawarkan tali beliau pinjam," ucap Zaini.

Zaini mengaku hingga saat ini kartu kreditnya masih berada di Edhy atau istrinya. Dia pun berencana akan menagih agar dikembalikan.

"Sampai sekarang belum (dibalikin). Mau ditagih nggak enak. Tapi saya tagih nanti pak, karena pinjam. Kalau enggak ditagih di akhirat," kata Zaini.

Atas semua keterangannya tersebut, Zaini mengaku berani jika dikonfrontir dengan Iis Rosita Dewi dalam persidangan. "Nanti akan kami minta keterangan Bu Iis juga ya, apa pinjam atau saudara yang nawarin," kata hakim yang disetujui Zaini.

Dalam sidang ini yang Suharjito didakwa memberi suap kepada Edhy Prabowo yang saat itu menjabat Menteri KKP. Suharjito disebut jaksa memberi suap kepada Edhy sebesar Rp 2,1 miliar terkait kasus ekspor benur.

Jaksa menyebut uang suap diberikan ke Edhy melalui staf khusus menteri KKP Safri dan Andrau Misanta Pribadi, lalu Sekretaris Pribadi Edhy bernama Amiril Mukminin, dan Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy Prabowo Iis Rosita Dewi, dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) sekaligus Pendiri PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Siswadhi Pranoto Loe. Suap diberikan agar Edhy mempercepat perizinan budi daya benih lobster ke PT DPP.

Suharjito didakwa jaksa KPK melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Baca juga: Juliari Batubara dan Edhy Prabowo Disebut Pantas Dihukum Mati, Ini Kata Gerindra hingga KPK

Pidana Mati

Terkait kasus yang menjerat Edhy, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tak menutup kemungkinan menjerat mantan menteri di Kabinet Jokowi-Maruf Amin itu dengan pidana mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Termasuk juga mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang terjerat kasus korupsi bantuan sosial (bansos).

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, tim penyidik lembaga antirasuah membuka kemungkinan mengembangkan kasus yang menjerat Juliari dan Edhy. Bahkan, menurut Ali, keduanya juga bisa dijerat pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) sepanjang ditemukan alat bukti yang mencukupi.

"Pengembangan sangat dimungkinkan seperti penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor, bahkan penerapan ketentuan UU lain seperti TPPU," kata Ali melalui keterangannya, Rabu (17/2/2021).

Menurut Ali, kemungkinan pidana mati tersebut bisa diterapkan tim penyidik kepada keduanya.

"Kami tentu memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kedua perkara tersebut, termasuk soal hukuman bagi para pelakunya. Benar, secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 ayat (2) hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan," ujar Ali.

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."

Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

Ali mengatakan, dalam menuntut terdakwa kasus korupsi dengan pidana mati, tim penuntut umum harus bisa membuktikan seluruh unsur yang ada dalam Pasal 2 UU Tipikor tersebut.

"Akan tetapi bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur pasal 2 ayat (1) juga harus terpenuhi," kata Ali.

Ali mengatakan, untuk saat ini pihak lembaga antirasuah masih fokus menangani Juliari dan Edhy Prabowo dengan pasal penerima suap, yakni Pasal 12 UU Tipikor. Pasal tersebut mengancam pelaku dengan pidana penjara seumur hidup.

"Proses penyidikan kedua perkara tersebut sampai saat ini masih terus dilakukan. Kami memastikan perkembangan mengenai penyelesaian kedua perkara tangkap tangan KPK dimaksud selalu kami informasikan kepada masyarakat," kata Ali.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjalani pemeriksaan lanjutan kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (29/1/2021)
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjalani pemeriksaan lanjutan kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (29/1/2021) (Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama)

Usulan pidana mati terhadap Edhy dan Juliari sebelumnya dikemukakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.

"Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK. Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Eddy Hiariej, sapaan Edward Omar Hiariej, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional "Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakkan Hukum di Masa Pandemi" yang ditayangkan secara daring di akun YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM, Selasa (16/2).

Menurut Eddy Hiariej, kedua mantan menteri itu layak dituntut hukuman mati karena melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19. Selain itu, korupsi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan jabatan mereka sebagai menteri.

"Jadi dua yang memberatkan itu, dan itu sudah lebih dari cukup dengan Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor," ujarnya.(tribun network/ham/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas