8 Rekomendasi Imparsial soal Penerapan Perkap HAM untuk Cegah Penyiksaan
Hal tersebut disampaikan Ardi dalam Diskusi Publik secara virtual bertajuk "Evaluasi Implementasi Perkap HAM dalam Mencegah praktik Penyiksaan".
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto mengungkapkan delapan rekomendasi soal penerapan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standard HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri (Perkap HAM) untuk mencegah penyiksaan.
Pertama, kata dia, adalah pendidikan anti penyiksaan atau pendidikan tentang hak asasi manusia perlu mendapat porsi utama di semua jenjang pendidikan.
Menurutnya, kenyataan di lapangan menunjukkan pendidikan terkait hal tersebut masih minim.
Hal tersebut disampaikan Ardi dalam Diskusi Publik secara virtual bertajuk "Evaluasi Implementasi Perkap HAM dalam Mencegah praktik Penyiksaan" pada Rabu (24/2/2021).
"Sementara kerja-kerja kepolisian sangat potensial untuk terjadi atau bergesekan dengan isu hak asasi manusia. Jadi seharusnya ini porsinya lebih besar daripada materi yang lain, saya kira," kata Ardi.
Baca juga: Penerapan Perkap HAM Dinilai Terkendala Kurangnya Pemahaman Hingga KPI yang Kuantitatif
Kedua, kata dia, perlunya pelatihan untuk peningkatan keterampilan tentang penggunaan kekerasan agar petugas kepolisian lebih siap secara mental dan terampil ketika memegang senjata.
"Secara mental siap, dan secara keterampilan itu sudah mahir. Tidak bidik kaki kena kepala," kata Ardi.
Ketiga, kata dia, penyediaan alat rekam dalam setiap tindakan kepolisian.
Ia mencontohkan adanya body cam atau kamera yang dipasang di badan petugas, CCTV di ruang tahanan, maupun di ruang interview.
Keempat, perlunya perubahan dari metode interogasi menuju inveatigative interview.
"Jadi diharapkan sudah tidak ada lagi kaki yang diinjak, jempol kaki yang diinjak kaki meja, atau yang dikeplak dengan bundelan dokumen, itu sudah berubah," kata Ardi.
Kelima, perlunya penyediaan ruang khusus wawancara atau investigative review yang layak untuk mencegah penyiksaan.
Keenam, peningkatan sistem scientific criminal investigation dalam pengungkapan kasus atau perkara tindak kejahatan.
"Ini juga penting untuk didorong. Tidak perlu lagi mengejar pengakuan, karena alat bukti lain dengan memanfaatkan scientific itu bisa didapatkan sebetulnya," kata Ardi.
Ketujuh, perlunya evaluasi kelayakan tempat penahanan di kantor-kantor kepolisian.
Menurutnya, situasi di lapangan sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian.
Hal itu karena menurutnya, selama ini tempat-tempat penahanan di kantor kepolisian tersebut selama ini menjadi tempat yang paling banyak dilakukan praktik penyiksaan baik dilakukan oleh kepolisian atau antar sesama tahanan.
Kedelapan, kata dia, adalah penguatan kewenangan lembaga eksternal pengawasan dalam proses hukum praktok penyiksaan.
Menurutnya, hal itu menjadi penting karena selama ini kasus-kasus penyiksaan yang terjadi tidak mendapat proses hukum yang memadai atau adil.
Proses hukum internal itu, kata dia, justru malah melanggengkan praktik penyiksaan itu sendiri karena adanya kesalahan pemaknaan jiwa korsa sehingga antar sesama anggota kepolisian terjadi praktik saling melindungi.
"Lembaga eksternal ini ada Kompolnas, Komnas HAM, ini dalam rangka pencegahan praktik penyiksaan sebagai kewajiban kita yang telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan," kata Ardi.