Pengamat Nilai Alasan Pemerintah Enggan Revisi UU Pemilu Terkesan Ragukan Kemampuan Sendiri
Alasan pemerintah enggan merevisi undang-undang Pemilu untuk menjaga stabilitas politik terkesan meragukan kemampuannya sendiri.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Analis dan pengamat politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menilai alasan pemerintah enggan merevisi undang-undang Pemilu untuk menjaga stabilitas politik terkesan meragukan kemampuannya sendiri.
Padahal Pilkada 2020 dapat dilaksanakan dengan relatif baik, meskipun bukan tanpa kekurangan.
Lebih lanjut, alasan pemerintah enggan merevisi undang-undang Pemilu untuk kepentingan ekonomi dan terkait pembiayaan Pilkada yang disebut membebani APBN di tahun 2022-2023 dinilai Arif bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.
Pasalnya pembiayaan yang dikeluarkan dalam Pilkada 2020 maupun Pemilu di 2019 tidak berbeda jauh.
Pada webinar Minggu (28/2/2021), Arif menjelaskan biaya Pilkada 2020 di 270 daerah berbiaya 20.49 triliun, adapun Pilkada 2018 di 171 daerah berbiaya Rp 18,5 triliun.
Baca juga: Partai Demokrat Belum Berubah Sikap terkait Revisi Undang-Undang Pemilu
Sedangkan biaya Pemilu 2019 sebesar 25,7 triliun.
Menurutnya penyelenggaraan Pilkada dan Pemilu pada tahun yang sama justru akan memakan biaya luar biasa besar.
“Saya belum mendengar pernyataan dari kementerian keuangan, tapi membayangkan bahwa di 2020 lalu tambahan untuk pengadaan APD saja itu harus tarik ulur, dalam mempertimbangkan teknis dan politis. Jadi saya pikir menjadi bertolak belakang mengenai kepentingan ekonomi dan pembiayaan Pilkada di 2022-2023,” ujar Arif pada webinar Minggu bersama Komite Pemilih Indonesia.
Baca juga: PKB Dukung Revisi UU Pemilu Tapi Jadwal Pilkada Tetap Tahun 2024
Terdapat pula argumen bahwa Pilkada memberi stimulasi perekonomian daerah.
Berkaca pada Pilkada 2020 lalu, ditengah himpitan ekonomi dan pandemi, pemerintah memberikan gambaran pada masyarakat bahwa penyelenggaraan Pilkada memiliki peluang menjadi faktor stimulasi ekonomi di daerah-daerah, terutama yang menyelenggarakan Pilkada.
Argumentasi juga tidak terlalu kuat, karena ia menilai di 2020 lalu kelesuan ekonomi masih menjadi problem bagi masyarakat sampai hari ini.
Baca juga: Pemilu Serentak Berat dan Rumit, KPU Akan Cari Formulasi untuk Laksanakan Pemilu dan Pilkada 2024
Maka menurutnya Jika argumen terkait pembiayaan dan stimulasi ekonomi membuat pemerintah enggan merevisi UU pemilu sangat aneh.
“Akan menjadi aneh, kalau kemudian penundaan Pilkada 2022-2023 itu dikaitkan dengan problem pembiayaan dan stimulasi ekonomi,” ujarnya.
Argumentasi yang menyebut undang-undang Pilkada yang terkini, yakni UU 10/2016 belum dilaksanakan, dimana salah satu pasalnya menyebut bahwa Pilkada Serentak akan dilaksanakan pada 2024.
Argumentasi tersebut dikatakannya sempat disebutkan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Argumentasi itu menurutnya juga tidak kalah problematik, sebab menurutnya dalam pandangan yang lebih progresif undang-undang Pilkada bukan sesuatu yang statis.
Undang-undang Pilkada justru menurutnya perlu responsive dan bahkan antisipatif terhadap kondisi.
“Jadi kita tidak perlu meletakan ini sebagai sesuatu yang tidak kontekstual dengan perkembangan politik dan perkembangan lainnya. Saya justru mengkritisi bahwa tampaknya para legislator kita tidak cukup visioner. Merancang undang-undang tidak mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas dan juga jangkauan yang lebih kedepan,” katanya.
Arif khawatir bahwa keengganan untuk merevisi UU Pemilu lebih terkait pada peluang kemenangan dalam berbagai konteks electoral baik di daerah maupun di nasional yang berdampak pada kekuatan politik, terutama pada anggota koalisi.
“Sayang bahwa isu revisi ini dalam minggu-minggu terakhir terdegradasi hanya sekadar persoalan Pilkada ini mau diselenggarakan 2022-2023 atau di 2024. Padahal isu revisi ini jauh lebih kompleks,” ujarnya.