Partai Oposisi Dikooptasi: Prosedurnya Demokratis, Perilakunya Tidak
Ade juga menyoroti penegakan hukum yang tebang pilih, fenomena oligarki dan dinasti politik yang meningkat dalam satu dekade terakhir.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam lima tahun terakhir demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Salah satu indikasinya adalah adanya kooptasi partai oposisi untuk tujuan kekuasaan.
“Misalnya kooptasi partai oposisi lewat hegemoni atau paksa dan membajak lembaga-lembaga negara untuk tujuan kekuasaan,” kata Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto Ph.D dalam pernyataannya, saat diskusi Institut Demokrasi dan Keadilan(Ideal), Selasa(9/3/2021). Dalam acara tersebut hadir juga Direktur Ideal, Bursah Zarnubi.
Hal serupa juga dilontarkan Dosen Politik Universitas Indonesia(UI) Dr. Ade Reza Hariyadi. Mengutip Gramcy tentang penyakit demokrasi kontemporer, ia menyebut bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam gejala tidak wajar.
Baca juga: AHY: Mereka Bukanlah Pemegang Hak Suara yang Sah, Hanya Diberikan Jaket dan Jas Partai Demokrat
Saat dipimpin oleh pemimpin yang populis, indeks demokrasi Indonesia justru turun dan diberi predikat demokrasi cacat.
Prosedurnya demokratis, tapi perilakunya tidak.
Ade juga menyoroti penegakan hukum yang tebang pilih, fenomena oligarki dan dinasti politik yang meningkat dalam satu dekade terakhir.
Indikator lain yang merusak demokrasi adalah fenomena partai rental dan mahar sebagai syarat dalam pencalonan Pilkada yang menjadi pintu bagi pemodal untuk membajak parpol.
"Kudeta yang terjadi di sejumlah parpol adalah konsekuensi dari fenomena partai rental,"ujarnya.
Baca juga: Disebut Ikut Danai KLB, Wasekjen Demokrat Sindir Nazaruddin: Uangnya Masih Banyak, Darimana?
Sementara itu, Mantan Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latif menyayangkan perjalanan demokrasi di Indonesia yang sudah banyak mengabaikan nilai-nilai.
Menurutnya, demokrasi yang berjalan tanpa diiringi dengan pembudayaan nilai-nilai demokratis merupakan kelemahan mendasar yang membuat Indonesia tidak pernah naik kelas.
“Demokrasi tanpa nilai pasti gagal. Simbolnya demokrasi, tapi software-nya feodalistik atau otoritarian. Parpol sebagai pilar demokrasi dikangkangi perseorangan sehingga mudah dibajak oleh oligarki dan pemodal. Bahkan lembaga-lembaga pendidikan pun saat ini menjadi pusat dari tribalisme,” kata Yudi.
Yudi menegaskan kembali pentingnya integritas dalam berpolitik, sebagaimana ditunjukkan oleh para tokoh bangsa di awal kemerdekaan.
Sayangnya, kata Yudi, integritas tersebut kini jarang dimiliki oleh para politisi di negeri ini.
“Integritas itu sulit ditemukan pada politisi zaman sekarang karena sebagian besar tidak terdidik dalam disiplin pergerakan. Sejak awal mereka ini anak-anak yang enak hidupnya, membonceng demokrasi dengan kekuatan uang, tidak berkeringat, dan tidak mengerti arti penderitaan,” jelasnya.
“Substansi demokrasi itu ada dua, yakni pemberdayaan civil society dan responsibility yang akuntabel.
Untuk itu perlu ada rule of law. Tetapi yang saat ini terjadi dalam pemerintahan kita bukan the rule of law, melainkan rule by law. Hukum hanya berlaku untuk rakyat, untuk lawan, tidak berlaku untuk pemerintah sendiri,” tambah Yudi.(Willy Widianto)