Jumhur Sebut Omnibus Law Jadikan Indonesia Bangsa Kuli, Ini Kata Saksi dari Kemenaker
Menanggapi hal itu, JPU melontarkan beberapa pertanyaan terkait dengan cuitan yang dimuat Jumhur dalam akun twitter pribadinya.
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) hadirkan saksi dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada sidang lanjutan kasus berita bohong dengan terdakwa Jumhur Hidayat dalam cuitannya perihal Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja.
Adalah Agatha Widianawati yang juga merupakan anggota perumus dan penyusun UU Omnibus Law.
Dalam persidangan Agatha menyampaikan, anggota perancangan UU tersebut dirinya merupakan tim yang khusus membahas mengenai klaster ketenagakerjaan.
Menanggapi hal itu, JPU melontarkan beberapa pertanyaan terkait dengan cuitan yang dimuat Jumhur dalam akun twitter pribadinya.
"Terkait twit yang di pos oleh jumhur Hidayat, mengenai Indonesia bangsa kuli dan terjajah, apakah undang-undang itu akan mengarah ke sana?" tanya jaksa dalam ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/3/202).
Baca juga: Pelapor Mengaku Resah dengan Cuitan Jumhur Hidayat Tapi Belum Baca Naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja
Mendengar pertanyaan itu, Agatha lantas melontarkan jawaban dan membantah mengenai unggahan tersebut.
Menurut dia cuitan yang dilayangkan Jumhur pada akun twitternya adalah tidak tepat.
"Kalau seperti itu tidak tepat, tidak ada sedikit pun mulai dari rancangan UU tidak ada arah ke sana itu sudah pasti," ungkap Agatha merespon pertanyaan jaksa.
Lebih lanjut, dirinya menyatakan dalam UU Omnibus Law yang disahkan pada 2 November 2020 itu menyangkut dua keseimbangan dalam dunia kerja.
Di mana kata dia, satu di antaranya mengenai perlindungan untuk para pekerja.
"Menyangkut keseimbangan 2 hal yang pertama untuk memudahkan orang membuka usaha. Keseimbangan kedua bagaimana memberikan perlindungan untuk pekerja," ungkapnya menambahkan.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip-mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang-Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.