Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tanggapan Pengamat soal Pasal UU ITE yang Dinilai Multitafsir: Sudah Bagus, Tinggal Pelaksanaan

Koordinator Wilayah Peradi Jawa Tengah, Badrus Zaman, menanggapi soal pasal UU ITE yang dinilai multitafsir: Sudah bagus, tinggal pelaksanaannya.

Penulis: Shella Latifa A
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Tanggapan Pengamat soal Pasal UU ITE yang Dinilai Multitafsir: Sudah Bagus, Tinggal Pelaksanaan
Freepik
Ilustrasi - Koordinator Wilayah Peradi Jawa Tengah, Badrus Zaman, menanggapi soal pasal UU ITE yang dinilai multitafsir: Sudah bagus, tinggal pelaksanaannya. 

TRIBUNNEWS.COM - Banyak pihak menilai pasal-pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengandung makna ganda (multitafsir).

Diketahui, kini pemerintah sudah membentuk tim akjian untuk menilai pasal UU ITE apa saja yang perlu direvisi.

Terkait hal itu, pengamat hukum Badrus Zaman menganggap terkadang kepolisian memaksakan isi pasal UU ITE.

Menurutnya, terkadang polisi ada kemauan untuk melanjutkan

"Itu sebenarnya polisi ada kemauan untuk melanjutkan perkara itu," kata Badrus di program Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (22/3/2021).

Baca juga: Pengamat Politik Nilai Antusiasme Masyarakat Indonesia pada Pilpres 2024 Mulai Terlihat

Baca juga: Pengamat Nilai Kisruh Partai Demokrat Dipicu Krisis Legitimasi Kepimpinan AHY

Sisi lain, Badrus menilai materi yang terkandung UU ITE sudah cukup bagus.

Hanya saja tinggal bagaimana pengaplikasian UU ITE itu.

Berita Rekomendasi

"Undang-undang ini menurut saya sudah bagus, makanya tinggal bagaimana pelaksanaannya."

"Kalau pelaksanaannya bagus, juga enggak masalah," jelas Koordinator Wilayah Peradi Jawa Tengah itu.

Lebih lanjut, Badrus menerangkan, UU ITE ini memang termasuk delik aduan.

Korwil  Peradi jateng, Badrus Zaman
Koordinator Wilayah Peradi Jawa Tengah, Badrus Zaman menanggapi soal pasal UU ITE yang dinilai multitafsir: Sudah Bagus, tinggal pelaksanaanya di Program Kacmata Hukum, Senin (22/3/2021). (Tangkapan Layar Youtube Tribunnews)

Baca juga: Elektabilitas Airlangga Stagnan di Luar 10 Besar, Pengamat : Lebih Mungkin Jadi Cawapres 

Baca juga: Pengamat Sebut Konflik di Demokrat Harus Diselesaikan Berdasar Mekanisme Hukum

Yang artinya, sesorang bisa diproses secara hukum terkait tindak pidana UU ITE jika ada pihak yang melapor.

Meskipun begitu, polisi tetap saja memiliki kewenangan untuk menilai apakah ada unsur pidana UU ITE atau tidak.


"UU ITE memang delik aduan, tapi polisi bisa mendeteksi dengan tim cyber," jelasnya,

Kata Badrus, pengaduan masyarakat soal UU ITE nantinya belum tentu akan masuk pidana UU ITE.

Baca juga: Apa Itu Delik Aduan? Begini Penjelasan dari Pengamat Hukum

Berbeda dengan tim cyber yang sudah pasti menilai rambu-rambu UU itu.

"Kalau diadukan masyarakat, belum tentu masuk ke UU ITE, karena namanya pendapat orang lain-orang lain."

"Kalau cyber sudah dideteksi melanggar rambu-rambu, seperti meresahkan masyarakat, pencemaran nama baik," pungkasnya.

Ia mengimbau masyarakt untuk hati-hati dalam bermedia sosial.

Tim Kajian UU ITE Terima Masukan dari DPR dan MPR untuk Revisi Beberapa Pasal

Diberitakan sebelumnya, Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menerima masukan dari DPR RI dan MPR RI untuk melakukan revisi beberapa pasal dalam UU yang dinilai mengandung sejumlah pasal karet tersebut.

Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin, mengatakan pemerintah perlu melakukan revisi terhadap UU ITE serta memasukkan revisi tersebut ke dalam Prolegnas 2021.

Parlemen, kata Azis, akan mendukung kebijakan pemerintah khususnya dalam hal ini Menko Polhukam Mahfud MD dan jajarannya baik dalam rangka FGD, penyiapan naskah akademis, serta sosialisasi kepada masyarakat, baik kalangan intelektual maupun NGO, untuk menjadi masukan. 

"Sehingga pembahasan menjadi suatu kompilasi yang bersifat komprehensif,” kata Azis dalam keteranangan resmi Tim Humas Kemenko Polhukam, diberitakan Tribunnews sebelumnya,  Jumat (19/3/2021).

Menurut Aziz sejumlah pasal yang masih menjadi perdebatan di masyarakat dan tarik menarik dalam penafsiran hukum adalah pasal 26 ayat 3, pasal 27, 28, 29, pasal 30, 40 dan pasal 45 dalam UU ITE tersebut.

Menurutnya banyak hal yang bisa dijadikan diskusi di antaranya azas-azas norma pasal-pasal di dalam UU ITE yang merupakan kejahatan di dalam cyber. 

Aziz Syamsudin.
Aziz Syamsudin. (Tribunnews.com/Reza Deni)

Baca juga: Hadiri FGD Tim Pengkaji Kemenko Polhukam, HNW Minta Segera Revisi UU ITE

"Misalnya pasal 27, pasal 28, 29, 26, tentang pengapusan informasi, pasal 36 tentang kewenenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses, nah ini yang menjadi diskusi dari waktu ke waktu dan sampai dengan saat ini antara fraksi fraksi sampai sekarang belum ada kesepakatan,” kata Azis.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid mencatat sejumlah pasal yang dianggap multitafsir dan terkesan tidak adil di dalam UU ITE sehingga perlu direvisi.

Pasal tersebut di antaranya Pasal 27 Ayat 3, Pasal 28 Ayat 2, Pasal 29, dan Pasal 45A.

Menurutnya pasal 27 ayat 3 seharusnya tidak dibutuhkan lagi untuk diatur di UU ITE karena dari segi substansi sejatinya aturan ini sudah diatur dalam pasal 310 KUHP yaitu terkait penghinaan atau pencemaran nama baik.

Ia juga menekankan alasan awal dibuatnya UU ITE tahun 2008 memiliki semangat memajukan informasi dan transaksi elektronik dan bukan justru menjadi momok bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi warga negara yang dijamin dalam pasal 28 E ayat 3 undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Bila konsisten dengan tujuan atau pertimbangan utama dihadirkannya UU ITE tahun 2008 itu, kata Hidayat, fokus dalam melaksanakan revisi adalah konten-konten yang bersinggungan dengan hak masyarakat mengemukakan pendapat dalam bingkai demokrasi Pancasila dan berpotensi untuk dijadikan alat kriminalisasi.

"Dan ketentuan yang mengatur tentang penghinaan, pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong dan menyesatkan, penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan sara,” lanjut Hidayat.

Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengatakan dalam UU ITE ada dua pasal krusial yang sempat menjadi perdebatan di antaranya Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. 

Namun demikian, TB berharap agar dua pasal tersebut tidak dihilangkan.

“Tapi kalau harus direvisi saya berharap kedua Pasal itu hendaknya dipertahankan, jangan dihilangkan karena itu roh dan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Saya punya data ada kelompok yang ingin berselancar atas nama kebebasan untuk mengkritik dan lain sebagainya. Untuk mendisintegrasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata TB.

Ia juga menyarakan agar diibuat pedoman penegak hukum dalam aplikasi kedua pasal krusial itu.

“Tapi kalo membuat pedoman kurang ya kita angkat ada peraturan presidennya atau peraturan pemerintah tentang undang-undang ini," kata TB.

Diakhir diskusi, Ketua Tim Kajian UU ITE  Sugeng Purnomo mengatakan akan membawa semua masukan narasumber untuk didiskusikan Tim I dan Tim II. 

Ia pun berharap agar tim dapat  menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.

“Seluruh Diskusi telah kita selesaikan untuk menyerap saran, aspirasi dan pandangan, maka waktunya masing masing sub tim untuk mengadakan rapat rapat internal untuk laporan yang ditugaskan kepada masing-masing," kata Sugeng.

Dalam kesempatan tersebut hadir pula kelompok Kementerian dan Lembaga antara lain Arief Muliawan mewakili Jampidum Kejaksaan Agung RI, Asep Maryono (Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan RI), KBP Heska mewakili Kabaintelkam Polri, Sudharmawatinginsih (Panitera Muda Pidana Umum Mahkamah Agung), dan Henri Subiakto sebagai wakil dari Kementerian Kominfo.  

(Tribunnews.com/Shella/Gita Irawan)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas