MK Diskualifikasi Pemenang Pilkada Boven Digoel, Kuasa Hukum Pemohon Apresiasi Putusan Mahkamah
Putusan itu tercantum di Nomor 132/PHP.BUP-XIX/2020 yang sidangnya digelar di Ruang Sidang Pleno MK, pada Senin (22/3/2021).
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
Wahiduddin menjelaskan bahwa Mahkamah berpendapat persoalan dalam perkara tersebut karena adanya perbedaan pendapat atau penafsiran antara KPU RI beserta jajaran di bawahnya sebagai pelaksana pemilihan dengan pengawas pemilihan, yaitu Bawaslu RI beserta jajaran di bawahnya terkait pelaksanaan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang pelaksanaannya diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2a) PKPU 1/2020. Terkait Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, Mahkamah telah memutus dalam Putusan 56/PUU-XVII/2019 bertanggal 11 Desember 2019 mengenai permulaan penghitungan jangka waktu (masa jeda) lima tahun bagi mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.
Terkait hal tersebut, Wahiduddin menjelaskan KPU RI berpatokan pada sejak mantan terpidana tersebut telah selesai menjalani pidana penjara dan orang yang bersangkutan sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. “Kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak sebagaimana dijelaskan pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016,” ujar Wahiduddin.
Sedangkan Bawaslu, lanjut Wahiduddin, berpatokan pada terminologi “mantan narapidana”, bukan mantan terpidana, Sehingga, menurut Bawaslu, mantan narapidana adalah seseorang yang tidak lagi menjalani pidana penjara di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karenanya, menurut Bawaslu, seseorang yang mendapatkan pembebasan bersyarat karena telah pernah menjalani pidana di dalam lembaga pemasyarakatan, maka dikategorikan sebagai mantan narapidana.
Sesuai Amar Putusan
Melalui putusan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa “selesai menjalani pidana penjara” yang dimaksud pada Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019, adalah seorang terpidana yang telah menjalani pidananya sesuari dengan amar putusan pengadilan.
Dengan kata lain, bagi seorang terpidana yang menjalani masa pidana baik di dalam lembaga pemasyarakatan maupun dengan pembebasam bersyarat (di luar lembaga pemasyarakatan), hal tersebut pada prinsipnya hanyalah berkaitan dengan teknis atau tata cara menjalani pidananya.
“Dengan demikian, bagi narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat walaupun tidak lagi berada dalam lembaga pemasyarakatan, status hukum yang bersangkutan, meskipun tidak lagi narapidana, namun terjadap yang bersangkutan masih berstatus sebagai terpidana,” urai Wahiduddin.
Mahkamah mengaitkan dengan keterangan dari KPK dan KPU RI bahwa vonis yang telah incracht yang dijatuhkan kepada Yusak Yaluwo adalah pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurangan yang telah dibayar oleh yang bersangkutan serta uang pengganti Rp45.772.287.123,- subsidiari 2 tahun penjara yang tidak dibayarkan. Proses penahanan Yusak Yaluwo dimulai pada 16 April 2010 dan mendapatkan remisi sebanyak 8 bulan 20 hari.
Wahiduddin menjelaskan seharusnya Yusak Yaluwo telah selesai menjalani pidana pokok pada tanggal 26 Januari 2014, kemudian karena Yusak Yaluwo tidak membayar uang pengganti Rp45.772.287.123,-, maka harus menjalani lagi pidana penjara selama 2 tahun dan baru selesai menjalani keseluruhan masa pidana pada tanggal 26 Januari 2016.
Selanjutnya, Yusak Yaluwo mendapatkan pembebasan bersyarat pada tanggal 7 Agustus 2014 dan masa pembebasan bersyarat pada Yusak Yaluwo berakhir pada tanggal 26 Januari 2017 yang dihitung dari sisa masa pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun masa percobaan sebagai konsekuensi Pasal 15 ayat (3) KUHP.
“Oleh karenanya, terhadap kasus a quo, Yusak Yaluwo telah ternyata belum melewati masa jeda 5 tahun pada waktu mendaftarkan dulu sebagai bakal calon Bupati Boven Digoel Tahun 2020 karena masa jeda lima tahun baru berakhir setelah tanggal 26 Januari 2022,” tegas Wahiduddin.
Ditemui sesaat usai mengikuti sidang MK secara daring, Kuasa Hukum Baharudin Farawowan mengatakan keputusan mahkamah konstitusi adalah kemenangan bagi rakyat Boven Digoel tanpa terkecuali dan khususnya kemenangan bagi penegakan hukum di Indonesia.
" Kami sangat mensyukuri atas peristiwa bersejarah ini dan berharap Dengan putusan ini dapat menjadi Yurisprudensi untuk kasus kasus sejenisnya pada proses pilkada maupun pileg yang akan berlangsung tahun 2024," kata Bahar Farawowan yang juga Kandidat Doktor pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Sementara itu menyambut putusan MK ini Dr. Firman Wijaya, S.H.,M.H. Saksi Ahli yang di hadirkan pihak Pemohon pada persidangan terkahir (25/2/21) mengatakan sangat mendukung putusan Mahkamah Konstitusi karena mantan narapidana harus memiliki surat keterangan persyatan bebas bersyarat final dan surat keterangan lunas wajib denda dan uang pengganti untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.