Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pesan Jaksa Agung Terkait Penanganan Perkara Dugaan Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan

Kejaksaan Agung RI masih belum menetapkan satupun tersangka dalam kasus dugaan korupsi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan.

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Sanusi
zoom-in Pesan Jaksa Agung Terkait Penanganan Perkara Dugaan Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan
Humas BPJS Ketenagakerjaan
ilustrasi: Kejaksaan Agung RI masih belum menetapkan satupun tersangka dalam kasus dugaan korupsi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, status perkara itu telah dinaikkan menjadi penyidikan sejak 3 bulan. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI masih belum menetapkan satupun tersangka dalam kasus dugaan korupsi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, status perkara itu telah dinaikkan menjadi penyidikan sejak 3 bulan.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menyampaikan Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jampidsus Ali Mukartono juga turut menyoroti kasus tersebut.

Baca juga: Jangan Samakan Kasus BPJS Ketenagakerjaan dengan Jiwasraya dan Asabri

Mereka pun menyampaikan pesan penting kepada penyidik.

"Pesan Pak Jaksa Agung dan Jampidsus jangan sampai penyidik melakukan pemberkasan tetapi rekan rekan JPU tidak yakin perkara bebas. Itu yang tidak diinginkan oleh pimpinan," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Rabu (24/3/2021) malam.

Instruksi itu, kata dia, membuat penyidik lebih berhati-hati untuk menangani perkara tersebut. Khususnya untuk memastikan kerugian negara yang diperkirakan Rp 20 trilliun di BPJS Ketenagakerjaan bukan sebagai risiko bisnis.

Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan Siap Hadapi Tantangan Pengelolaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

"Oleh karena itu sebagai Dirdik kita tentu berhati-hati betul dengan langkah langkah penyidik. Dipastikan betul tuh. Kalau ternyata di BPJS itu ada orang yang mengendalikan saham itu maka ini tidak unrealized loss lagi tapi sengaja ada kemufakatan yang tujuannya untuk menguntungkan," ujar dia.

Berita Rekomendasi

Lebih lanjut, Febrie menambahkan penyidik masih tengah terus mendalami apakah ada permufakatan jahat di balik kerugian yang dialami BPJS Ketenagakerjaan mengenai pengelolaan keuangan dan dana investasi.

"Penyidik masih terus menggali apakah investasi ini ada mufakat jahatnya seperti Jiwasraya dan Asabri. ada keterlibatan antara pihak pemain luarnya swastanya dengan pihak dalam dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru. Makanya dilihat ini apakah ada atau tidak yang mengendalikan seperti di Asabri dan Jiwasraya," tukasnya.

Baca juga: Kemnaker dan BPJS Ketenagakerjaan Integrasikan Data Penerima Program JKP

Sebagai informasi, Kejaksaan Agung RI sebelumnya menduga adanya tindak pidana korupsi yang terjadi dalam tubuh PT BPJS Ketenagakerjaan berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan dana investasi.

Hasilnya, kasus tersebut ditingkatkan menjadi penyidikan pada Januari 2021. Kasus tersebut ditangani oleh penyidik pada Jampidsus berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: Print-02/F.2/Fd.2/01/2021.

Penyidik juga memeriksa sejumlah saksi-saksi untuk mendalami kasus tersebut. Selain itu, sejumlah dokumen sudah sempat disita dalam penggeledahan kantor pusat BPJS Ketenagakerjaan di wilayah Jakarta, Senin (18/1/2021) lalu.

Sempat Singgung Adanya Kerugian Negara Rp 20 Triliun

Kejaksaan Agung RI memperkirakan kerugian negara dugaan kasus tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 20 triliun. Angka itu dibukukan hanya dalam 3 tahun saja.

Demikian disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Febrie Adriansyah. Hal itu sekaligus menjawab kemungkinan kasus BPJS Ketenagakerjaan hanya sebatas risiko bisnis.

"Kalau kerugian bisnis, apakah analisanya ketika di dalam investasi itu selemah itu sampai 3 tahun bisa merugi sampai Rp 20 triliun sekian. Sekalipun ini masih menurut dari orang keuangan masih potensi," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (11/2/2021).

Febrie juga menjawab kemungkinan kasus BPJS Ketenagakerjaan sebagai unrealized loss atau risiko bisnis. Unrealized loss sendiri biasa digunakan dalam perdagangan di pasar saham.

Artinya, kondisi penurunan nilai aset investasi saham atau reksadana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal yang tidak bersifat statis.

Febrie menyampaikan kasus yang dialami BPJS Ketenagakerjaan hampir tidak mungkin dalam kondisi unrealized loss. Sebab, kerugian yang diterima perseroan mencapai Rp 20 triliun dalam 3 tahun saja.

"Nah sekarang saya tanya kembali dimana ada perusahaan-perusahaan lain yang bisa unrealized loss (Rp 20 triliun) dalam 3 tahun. Ada nggak seperti itu? saya ingin denger dulu," ungkap dia.

Kendati demikian, pihaknya masih menunggu laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kerugian negara dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan.

"BPK yang menentukan kerugian. Ini nanti kita pastikan kerugiannya ini. Karena perbuatan seseorang ini masuk ke kualifikasi pidana atau seperti yang dibilang tadi kerugian bisnis," tandas dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas