UU Merek Terlampau Luas, Identifikasi Merek Terkenal Butuh Pembuktian
Lahirnya Undang-Undang No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan babak baru perkembangan hukum merek di Indonesia.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lahirnya Undang-Undang No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan babak baru perkembangan hukum merek di Indonesia.
Sebab hal baru yang diatur dalam UU ini adalah diakomodasinya pelindungan merek nontradisional dan sistem pendaftaran merek internasional.
Selanjutnya, beberapa penyempurnaan juga dilakukan dalam UU ini, yang antara lain termasuk penyederhanaan prosedur pendaftaran merek dan pelindungan merek terkenal.
Untuk mengidentifikasi apakah suatu merek merupakan merek terkenal, selain berpedoman pada UU Merek, Indonesia juga telah memiliki Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (Permenkumham 67/2016) yang secara spesifik mengatur mengenai kriteria dari merek terkenal.
Satu hal yang sering ditemukan dalam sengketa merek adalah pemahaman yang berbeda terkait dengan merek terkenal, salah satunya ada soal secondary trademark.
Sebagai contoh, merek terkenal Marlboro Lights, kandungan merek terkenal sejatinya melekat pada kata Marlboro dan selanjutnya kata Lights ini sejatinya merupakan secondary trademark, yang sangat terbuka untuk bisa digunakan oleh merek lain.
Baca juga: RUU Ibu Kota Negara Masuk Daftar Prolegnas Prioritas 2021, Ini Penjelasan Baleg DPR
Baca juga: Komite II DPD RI Lakukan Pengawasan UU Jalan dan UU BUMN ke Provinsi Sulawesi Selatan
Namun saat ini banyak ditemukan sengketa merek dengan titik yang dipersoalkan pada secondary trademark, yang masih dinilai sebagai merek terkenal.
Padahal secondary trademark tidak dapat dikategorikan/diklasifikasikan sebagai merek terkenal karena Secondary Trademark pada praktiknya digunakan sebagai varian.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual , Dr. Freddy Harris, ACCS, berdasarkan Pasal 18 ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek, merek terkenal harus memenuhi beberapa kualifikasi.
Tetapi, katanya, peraturan tersebut masih cukup luas pengartiannya dan membutuhkan banyak pembuktiannya.
“Harus cari bagaimana caranya agar apa yang disebut merek terkenal dipahami secara bersama-sama, karena tingkat pengetahuan dan pengakuan terhadap merek tersebut masih butuh pembuktian,” katanya dalam sebuah webinar di Jakarta. Rabu (24/3/2021).
Baca juga: Korban UU ITE Curhat ke Menko Polhukam Mahfud MD dan Hotman Paris
Di sisi lain, Freddy menilai yang paling penting adalah goodwill untuk menjaga persaingan yang sehat.
Dia mencontohkan sejumlah merek terkenal seperti IKEA, Piere Cardin, H&M, kendati sudah terkenal tetapi butuh perhatian konsultan merek.
“Misalnya IKEA yang sudah terkenal sejak tahun 80-an, tetapi orang Indonesia tidak tau, kecuali yang sudah ke luar negeri. Tetapi sekarang sudah sangat terkenal jadi ada beberapa kriteria yang masih belum bisa terpenuhi oleh merek ini,” katanya.