Pengamat: Presiden Semestinya Tolak Calon Komite BPH Migas
Yusri Usman menilai telah terjadi kesalahan prosedur dalam pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) BPH Migas dan proses seleksinya.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai telah terjadi kesalahan prosedur dalam pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) BPH Migas dan proses seleksinya.
Yusri juga menilai proses yang dilaksanakan tidak fair dan tidak transparan serta berpotensi melanggar undang undang.
"Saat ini justru di antara yang lolos terdapat calon-calon yang tidak professional, diragukan pengalamannya tentang Migas. Sementara persyaratan minimal memiliki pengalaman 10 tahun di bidang Migas kurang menjadi perhatian utama," ungkap Yusri dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (4/4/2021).
Baca juga: BPH Migas Teken Kerjasama dengan Telkom untuk Mendigitalkan Distribusi BBM
Yusri mengatakan, cara-cara Menteri ESDM dalam seleksi Komite bisa berisiko fatal.
"Pengelolaan hilir Migas menjadi korban," tegas Yusri.
Terkait ketentuan yang lalu, lanjut Yusri, Pansel Komite BPH Migas bentukan Sekretariat Kepresidenan itu lah yang benar.
Baca juga: Telkom dan BPH Migas Hadirkan Digitalisasi di Sektor Hilir Untuk Pengawasan Distribusi BBM dan Gas
"Saya sayangkan, Komisi VII DPR RI kali ini kurang jeli, atau jangan-jangan sebagian sudah masuk angin. Oleh karena itu, sebaiknya Presiden menganulir Pansel ini dan menyesuaikan dengan aturan. Ini menyangkut juga wibawa Presiden," saran Yusri mengakhiri.
Yusri membeberkan, BPH Migas adalah lembaga independen yang dibentuk sesuai perintah UU Migas Nomor 22 tahun 2001. BPH Migas bertanggungjawab kepada Presiden.
"Dengan demikian, semestinya yang membentuk Pansel adalah Sekretariat Kepresidenan, bukan Kementerian ESDM seperti yang dilakukan saat ini. Hal ini tercantum disejumlah dalam pasal undang-undang Migas," beber Yusri.
Pada UU Migas menyebutkan bahwa Pansel dibentuk oleh Sekretaris Kepresidenan.
Sementara pada pasal lainnya juga menyebut bahwa Badan Pengatur ditetapkan dengan keputusan presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
"Karena itu, pembentukan Pansel semestinya Sekretariat Kepresidenan, bukan Kementerian ESDM," ujar Yusri.
Yusri membeberkan, persyaratan sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 11.K/KP.03/MEM.S/2021 tentang Pedoman Seleksi Calon Ketua dan Anggota Komite BPH Migas, pada poin (b) menyebutkan berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat pendaftaran.
"Persyaratan ini telah menghilangkan kesempatan dari senior profesional berpengalaman yang masih diperlukan tenaga maupun pemikirannya, juga generasi muda milenial yang kompeten di negeri ini untuk ikut serta dalam Seleksi tersebut," ungkap Yusri.
Lebih lanjut Yusri mengatakan, penentuan syarat pembatasan usia melanggar UU Migas dan HAM.
Padahal dalam UU Nomor 12 Tahun 2001, serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 67 Tahun 2002, tidak ada satu butir ayat pun syarat untuk menjadi Komite dengan pembatasan umur.
Kecuali disebutkan profesional.
"Selain itu UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun," beber Yusri.