Vaksin Covid-19 Diharapkan Tidak Dijadikan Komoditas Ekonomi dan Politik
Ketua Umum DPP LDII Kyai Haji Chriswanto Santoso mengingatkan pentingnya humanisme dalam menyikapi vaksin.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum DPP LDII Kyai Haji Chriswanto Santoso mengingatkan pentingnya humanisme dalam menyikapi vaksin.
Ia mengingatkan kebijakan publik mengenai vaksin jangan sampai mengorbankan jiwa manusia dan harus mencerminkan keadilan dan keberadaban.
“Vaksin buatan dalam negeri itu ranah saintifik. Bisa diperdebatkan di lingkungan akademisi kedokteran dan kesehatan. Jangan menjadi komoditas ekonomi dan politik, sebab rakyat yang bisa jadi korban,” ujar Chris dalam keterangannya, Selasa (20/4/2021).
Setahun lebih pandemi, kini berbagai negara tak lagi fokus kepada pembatasan gerak manusia. Sebagai gantinya, politik vaksin terjadi di berbagai negara.
Negara-negara pemilik vaksin menggunakannya sebagai alat penekan. Indonesia yang menjadi negeri untuk pasar vaksin, justru terjebak dalam perdebatan mengenai vaksin produk dalam negeri.
Baca juga: Soal Polemik Vaksin Nusantara, Jokowi: Saya Dukung Riset
Chriswanto meminta ketulusan hati semua pihak dalam penyediaan vaksin. Para intelektual yang berdiri pada pro dan kontra mengenai vaksin, harus membantu pemerintah agar permasalahan vaksin bisa terselesaikan.
Termasuk penyediaan vaksin produksi dalam negeri, agar ketergantungan terhadap luar negeri berkurang.
Chriswanto mengajak semua pihak yang terlibat dalam politik vaksin di dalam negeri menengok kembali konstitusi UUD 1945.
“Di dalam Pembukaan UUD 1945, negara Indonesia didirikan untuk memenuhi hak-hak konstitusi warga dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia,” ujarnya.
Bahkan, Pancasila sebagai ideologi negara, menekankan kebijakan publik harus menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Senada dengan Chriswanto, Anggota DPR Komisi VI Singgih Januratmoko menekankan pentingnya nasionalisme dalam politik vaksin, yang kini jadi bagian dari efek negatif globalisasi.
Menurut Singgih, nasionalisme dalam hal ini bukan dalam pengertian yang sempit, yang menganggap bangsa sendiri unggul di atas bangsa lain.
“Nasionalisme yang dibingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika berupa sosio-nasionalisme,” ujar anggota Komisi VI DPR RI Singgih Januratmoko.
Politisi Golkar itu menyebut, pandemi menyadarkan bangsa Indonesia mengenai sosio-nasionalisme.
Menurut Singgih sosio-nasionalisme sebagaimana dipaparkan Bung Karno, adalah nasionalisme yang menempatkan seluruh bangsa sederajat, antikolonialisme, dan bersifat humanistic.
“Jadi ketika negara-negara maju, cenderung menahan vaksin buatannya tanpa menghiraukan negara-negara lain yang membutuhkan, disinilah pentingnya sosio-nasionalisme itu,” ujar Singgih.
Menurutnya, pengembangan vaksin harus diupayakan dipercepat tanpa melibatkan kepentingan dan ego sektoral.
Pasalnya, dalam pandangan Singgih, terdapat kecenderungan negara-negara maju, menggunakan vaksin sebagai alat penekan.
“Mereka enggan berbagi dengan alasan kebutuhan dalam negeri mereka juga meningkat. Sementara negara-negara di belahan bumi lain harus melawan Covid-19 tanpa ketercukupan vaksin,” ujarnya.
Covid-19 menunjukkan, bagaimana globalisasi, yang salah satunya juga membawa wabah juga menjadi tantangan kebangsaan.
Masalah vaksin itu, bila dipahami secara sosio-nasionalisme menjadi pengingat pentingnya bangsa Indonesia tak bergantung dengan vaksin dari negara lain.
“Politik vaksin menunjukkan bagaimana globalisasi yang makin luas, juga menciptakan persaingan antarbangsa yang kian tajam,” ujar Singgih.