China Bela Diri Soal Kondisi Uighur, DPR Sebut Hanya Lips Service Tanpa Bukti
media di Indonesia disebut mengutip rilis laporan dari media barat yang menyerang dan memfitnah Tiongkok.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Sanusi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kedutaan Besar China menyebut media di Indonesia jadi korban rekayasa pemberitaan sebagian laporan negara barat soal kondisi muslim Uighur di Xianjiang.
Pasalnya media di Indonesia disebut mengutip rilis laporan dari media barat yang menyerang dan memfitnah Tiongkok.
Anggota Komisi I DPR RI, Al Muzammil Yusuf menilai cara pemerintah China membela diri seputar dugaan peristiwa kejahatan kemanusiaan muslim Uighur, hanya pernyataan politik yang sia-sia dan sekedar lips service belaka.
Baca juga: Singgung Uighur hingga Rohingya, Ini Pernyataan Lengkap Presiden Biden Terkait Awal Ramadan
"Alias lips service. (China) Tidak berani membuktikan hal-hal yang kongkrit seperti menunjukkan kebijakan hidup bebas tanpa penyiksaan dan penghormatan HAM setiap pribadi muslim Uighur," kata Al Muzammil kepada wartawan, Kamis (22/4/2021).
Baca juga: Kedubes China Bantah Isu Penindasan Etnik Minoritas Uighur di Xinjiang
Politikus PKS ini mengatakan jika mau membela diri, China seharusnya segera membuktikan kebijakan politik yang berpihak pada kebebasan muslim Uighur.
Seperti kebebasan melaksanakan ibadah, hingga tidak memisahkan anak Uighur dari orang tuanya. Kebijakan politik tersebut bisa ditampilkan lewat media.
Baca juga: Warga Uighur Gelar Unjuk Rasa di Turki Saat Menteri Luar Negeri China Berkunjung
Kata Al Muzammil, dunia sudah punya teknologi tinggi. Sehingga sulit bagi negara manapun termasuk China untuk menutup-nutupi kebijakan represif dan pelanggaran HAM di Uighur.
"Dunia sudah dikuasai teknologi tinggi. Sulit bagi negara manapun untuk menutup-nutupi kebijakan represif dan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Uighur," tegas dia.
Senada dengan DPR RI, pusat kajian kebijakan dalam dan luar negeri Indonesia, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai tudingan China terhadap kerja jurnalis khususnya Indonesia adalah bentuk kepanikan.
China dianggap panik karena permasalahan Uighur menjadi isu pelanggaran HAM berat dunia.
"Ini mereka (China) panik. Apalagi terakhir di Indonesia, wartawan dalam dan luar negeri banyak yang meliput serta mewartakan dengan masif, aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Islam di Kedubes China sampai viral di media massa dan media sosial dunia," kata peneliti CENTRIS, AB Solissa kepada wartawan.
CENTRIS menyebut kerja para jurnalis Indonesia sudah sesuai kaidah, prinsip dasar dan kode etik jurnalistik, di mana mengedepankan fakta sebuah peristiwa, dan bukan asumsi maupun opini.
Apalagi kata AB Solissa, tak sedikit jurnalis tanah air yang bisa mewartakan fakta atas dugaan pelanggaran HAM berat terhadap etnik minoritas Uighur di tengah ketatnya pengawasan otoritas China. Sehingga menurutnya, China keliru jika menyangsikan kerja jurnalistik pekerja media di Indonesia.
"Jangan pertanyakan apalagi menyangsikan kerja jurnalistik media massa mainstream Indonesia dan dunia yang telah teruji kredibilitasnya sebagai mata dan jendela dunia," pungkas AB Solissa.
Sebelumnya, Kedutaan besar China di Jakarta, Indonesia (RI) angkat suara terkait laporan yang menyudutkan pemerintah China soal etnik minoritas Uighur di Xinjiang.
Lewat sebuah pernyataan tertulis, Kedubes China menyebut laporan pemberitaan media RI yang dirilis dari sebagian media Barat menyerang dan memfitnah Tiongkok, serta menyesatkan publik Indonesia.
"Kami menyatakan keprihatinan atas hal ini, dan ingin menyampaikan klarifikasi terhadap informasi yang beredar," mengutip keterangan Juru Bicara Kedubes China lewat situs pemberitaannya.
China menyebut sejumlah kecil negara Barat memiliki motif politis untuk memusuhi Tiongkok, dengan menciptakan rumor bohong bahwa Tiongkok melakukan apa yang disebut penindasan etnik minoritas, pembatasan kebebasan beragama, dan lain-lain di Xinjiang.
"Setelah gagal mencapai tujuan politis mereka, mereka selanjutnya merekayasa rumor bohong yang absurd dan sama sekali tidak berdasar, seperti "genosida", "pemandulan paksa", dan "kerja paksa" di Xinjiang," lanjutnya.