Fahri Sampaikan Perkembangan Partai Gelora Saat Bedah Buku Putih
Buku ini, kata Faahri berisi pelajaran tentang bagaimana membangun tradisi yang baik dalam partai politik sebagai pilar utama demokrasi.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Eko Sutriyanto
“Itu sebabnya sebagian negara demokratik itu cara menarik anggota DPR itu hanya dengan semacam Pemilu lagi, hanya bisa ditarik oleh rakyat yang memilihnya. Tidak oleh bos-bos partai. Partai politik di republik ini terlihat pikirannya hanya sampai di perut, bos-bos ini. Kenapa sih seorang seperti Fahri ditakuti, orang-orang yang agak gila-gila ini kenapa ditakuti dan dalam rumah sendiri.
Kenapa sih takut, orang tidak membunuh, tidak makai narkoba segala macam dan dia cuma bicara, dia ingin kebaikan yang sungguh-sungguh dan dia perjuangkan secara sungguh-sungguh kenapa ditakuti?” tegas Margarito yang juga penasehat hukum Fahri.
“Hampir semua partai kelakukannya semua begini, ada anggotanya yang aneh-aneh dikit, kemudian ditelpon, mulailah diancam segala macam, kenapa sih? jangan-jangan partai kita ini yang dikatakan ideologi-ideologi itu omong kosong semua, ideologinya ya perut. Karena ideologinya perut makanya orang-orang yang mencoba memutus rantai itu jadi soal, ya seperti Fahri ini,” imbuhnya.
Baca juga: Tokoh Jawa Timur Masuk Pengurus Pusat Partai Ummat
Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, mengungkapkan bahwa seorang Fahri Hamzah adalah marketer, apapun istilahnya dia seorang marketer, ketika dia terlibat dalam sebuah konflik baik yang sifatnya personal, internal partai atau perbedaan pandangan, wacananya sering kali pro-kontra dan bergeser menjadi sebuah isu yang ada dipanggung nasional.
Bagaimana gaung, lanjutnya, seorang Fahri Hamzah ketika sering kali dulu bertengkar dengan seorang Johan Budi, rating TV One pasti tinggi, tapi kemudian dari situ lahir banyak perdebadan diksusi mengenai KPK yang selama ini tenggelam oleh arus populisme bahwa KPK tidak boleh salah.
“Itu kita harus akui. Sama seperti apa dalam buku ini, kalau orang mengatakan dari sudut marketing, akan bilang jago nih Fahri Hamzah, marketingnya nih pak Herman Kertajaya, kenapa? Urusan personal bisa jadi terkait desain sistem tata negara dan kebangsaan, kira-kira kan seperti itu.
Tapi itu yang menarik bahwa karakter politisi seperti ini yang tidak mau terlibat budaya latah, arus populisme yang kemudian ada di sosial media misalnya, itu kemudian akan melahirkan dialog walaupun sering kali akhirnya bung Fahri harus menjadi bamper,” lugasnya.
“Kalau dulu ditanya politisi yang terkesan paling alergi dengan KPK saya yakin ketika di survei orang akan mengatakan Nomor 1 adalah Fahri Hamzah bahkan bukan Setyo Novanto gitu ya, dan yang luar biasanya adalah orang yang dianggap paling alergi dengan KPK sampai detik ini masih duduk baik-baik saja tidak pernah terlibat kasus, itu saya pikir perlu tepuk tangan buat seorang Fahri Hamzah.
Saya gak tahu harus mendefinisikannya seperti apa, jadi kalau mau dianalogikan, jadi ada istilah dou F kalau dikalangan para cebong ini istilah netizen itu legend sekali mitos dou F, Fadli Fahri tapi sudah terbukti batmannya itu Fahri karena lebih susah dilawan,” lanjutnya.
Muh Jusrianto, Direktur Eksekutif Parwa Institute, melanjutkan bahwa buku yang ditulis oleh Fahri bisa menjadi referensi untuk pembangunan partai politik kedepannya, begitupun dengan bagaimana pemerintah dalam membangun demokrasi yang bukan hanya titik tekannya pada demokrasi prosedural tetapi juga bicara soal demokrasi substantif karena hal yang perlu diprioritaskan soal prinsip-prinsip ataupun nilai-nilai demokrasi disepakati bersama bicara soal kemanusiaan, kesejateraan dan keadilan untuk kedepannya.
“Partai politik diharapkan bisa menjadi fondasi demokrasi Indonesia kedepannya tapa terkecuali Gelora sebagai partai baru. Apa yang membedakan Gelora dengan PKS, apakah sama saja atau sedikit memiliki perbedaan atau perbedaannya sangat-sangat siginifikan antara gerakan PKS maupun gerakan Gelora.
Partai-partai hari ini seharusnya bisa memperkuat dirinya secara institusionalisasi, yang bukan hanya bicara soal menghargai kebebasan politik dan kebebasan ekonomi, tetapi juga partai politik mampu menerapkan prinsip dan nilai-nilai demokrasi di internal partainya sendiri karena kita lihat beberapa partai politik malah tidak menerapkan nilai demokrasi itu sendiri di internal partainya,” tandasnya.
“Salah satu yang kental dalam buku putih yang ditulis bang Fahri di pintu pertama adalah perdebatan ideologis misalnya antara liberal dan konservatif, yang kemudian saya menilai banyak yang meragukan perdebatan ideologis masih relevan hari ini, apakah partai-partai politik masih memegang teguh ideloginya? Karena kita bisa melihat ada jarak yang signifikan antara partai dengan ideologi yang mereka bangun secara tekstual.
Selanjutnya, luar biasanya Fahri mampu memenangkan beberapa proses hukum antara perseteruannya dengan PKS.
"Kemudian kita melihat nanti apakah Fahri mampu memenangkan Gelora dalam pertarungan di 2024.
Kita berharap Gelora bisa memainkan peran strategis di 2024 baik di legislatif maupun eksekutif,” pungkasnya.