Sudirman Said: Menjalankan Negara, Pemerintah Harus Ada Kekuatan Penyeimbang
Dari kontestasi Pilkada Jawa Tengah, Sudirman mendapat pelajaran penting tentang kondisi politik Indonesia.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi politik nasional saat ini.
Jalannya urusan kenegaraan dan kebangsaan saat ini menurutnya tak sehat lantaran kekuatan politik tidak lagi seimbang.
Diperlukan kekuatan penyeimbang untuk mengawasi pemerintah.
"Saya khawatir karena kontrolnya tidak cukup kuat, pemerintahan yang sekarang ini banyak melakukan kesalahan-kesalahan yang dampaknya agak panjang," kata Sudirman dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Budiman Tanuredjo belum lama ini di Jakarta.
Sudirman mengaku khawatir lantaran kekuatan penyeimbang saat ini sangat minim.
Koalisi pemerintahan yang ada terlalu besar sehingga mengakibatkan kontrol kekuatan penyeimbang tak memadai.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah bisa saja tak terawasi dan terkontrol dengan baik.
Baca juga: Said Didu Sebut Erick Thohir akan Panen Proyek Tol Mangkrak di 2021
Sudirman mencontohkan gejala minimnya kontrol itu terasa di berbagai isu seperti ekonomi, pembangunan infrastruktur, utang pemerintah, dan lainnya.
Dia juga menyoroti perkembangan terkini terkait penegakan hukum khususnya di KPK.
Baca juga: Said Didu: Tol Becakayu dan Bandara Kertajati Tidak Laik Secara Ekonomi
Mengenai KPK, Sudirman menilai komisi antirasuah kini kredibilitasnya memudar lantaran perubahan undang-undang dan skandal internal.
"Apakah betul penegakkan hukum itu berjalan dengan fair, apakah betul KPK itu sekarang terjaga?"
"Apakah betul ekonomi kita itu berjalan dengan baik, pembangunan infrastruktur, utang segala macam. Itu hal-hal yang fundamental yang harusnya kalau saja kekuatan pengimbang cukup kuat itu akan disuarakan," kata Sudirman.
Baca juga: Erick Thohir Tunjuk Said Aqil Jadi Komisaris Utama PT KAI
Sudirman yang juga pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) itu berpandangan orang yang di luar pemerintahan peelu membantu jalannya negara dengan fungsi kontrol.
Sehingga, risiko kesalahan fundamental dari kebijakan pemerintah bisa dihindari.
Sudirman menyayangkan kekuatan oposisi setelah selesainya Pilpres 2019 lalu tak bernyawa panjang. Capres kala itu Prabowo Subianto bergabung ke pemerintahan Jokowi.
Sandiaga Uno juga menyusul menjadi menteri. Menurut Sudirman, keputusan Prabowo dan Sandiaga sebagai pribadi perlu dihormati. Namun, sebagai lokomotif kekuatan oposisi memang problematik.
"Karena gerbong itu menjadi tidak ada lokomotifnya. Sementara saya punya prinsip kalau berkompetisi yang menang memerintah yang kalah di luar menjadi pengontrol, sehingga ada keseimbangan. Itu tidak terjadi," ujarnya.
"Kembali pilihan pribadi silakan, tapi seharusnya yang di luar tadi itu kekuatan yang cukup baik dijaga," ucap Sudirman.
"Kalau kontrolnya tidak ada, kontrolnya lemah itu risikonya bisa berbuat banyak kesalahan. Kalau ditanya bagaimana dengan pilihan Pak Prabowo dan Pak Sandi, itu personal choice silakan aja."
"Tapi kita menyayangkan bahwa kekuatan oposisi pengimbang ini menjadi lemah dengan bergabungnya mereka ke sana," imbuhnya.
Sudirman juga bicara blak-blakan mengenai langkahnya terjun ke politik di Pemilihan Gubernur Jawa Tengah.
Setelah tak menjadi menteri, Sudirman maju Pilkada Jawa Tengah pada 2018 lalu. Langkah itu diyakininya sebagai ikhtiar untuk berkontribusi bagi rakyat.
"Menjadi menteri itu terlanjur jadi pejabat politik. Terus ketika ada panggilan untuk berbuat tapi masih sama-sama urusan rakyat ya saya kerjakan," kata Sekjen Palang Merah Indonesia (PMI) itu.
Sudirman Said pada 2018 lalu maju sebagai Calon Gubernur Jawa Tengah berpasangan dengan Ida Fauziyah. Sudirman yang lahir di Brebes itu mengaku terpanggil untuk terjun mencalonkan gubernur.
Sudirman menuturkan keputusannya maju dalam Pilkada Jateng itu tak lain dan tak bukan untuk kepentingan masyarakat.
Dia yakin untuk maju meski mengakui tak punya pengalaman politik yang panjang. Namun, hal iti tidak menyurutkannya. Menurut dia, politik ialah jalan untuk berkontribusi bagi rakyat.
"Kita hadir di sana dan memang betul tidak punya partai, tidak punya uang, tidak punya pengalaman berpolitik. Jadi saya merasa bahwa politik itu jalan untuk berkontribusi, jadi apa salahnya," ucapnya.
Dari kontestasi Pilkada Jateng itu, Sudirman mendapat pelajaran penting tentang kondisi politik Indonesia.
Menurutnya, kontestasi politik di Tanah Air sayangnya masih kental terasa sebagai ajang permusuhan bukan untuk bersama-sama mengedepankan kepentingan masyarakat.
"Ternyata politik kita itu begitu. Kita nyemplung dan yang berbeda pilihan dianggapnya lawan. Saya merasakan tekanan luar biasa yang tidak saya sangka," tuturnya.
Meski begitu, ia tak merasa kapok dengan politik. Menurut Sudirman, politik bisa dibedakan antara politik yang mengedepankan urusan rakyat dan politik yang hanya mementingkan kontestasi atau kemenangan.
Sudirman menyatakan politik dengan cita-cita besar dan luhur perlu terus diperjuangkan.
"Politik itu kan kita terus memperhatikan urusan kenegaraan, berkontribusi pemikiran segala macam itu sih enggak berhenti lah. Artinya seorang aktivis mana bisa berhenti untuk mikirin situasi negara. Itu saya sebut sebagai politik p besarlah," kata dia.