MK Tolak Uji Formil UU KPK, Ini Pertimbangan Hakim Wahiduddin Adams Beri Dissenting Opinion
MK memutus menolak permohonan uji formil Undang - Undang KPK baru yang diajukan para eks pimpinan lembaga antirasuah.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak permohonan uji formil Undang - Undang KPK baru yang diajukan para eks pimpinan lembaga antirasuah.
Meski begitu, salah satu anggota hakim konstitusi yakni Wahiduddin Adams punya pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Wahiduddin yakin dan punya pendirian yang sama dengan keterangan Ahli Bagir Manan yaitu pembentuk UU dalam hal ini DPR dan Presiden, sejatinya bukan merevisi melainkan membentuk UU baru tentang KPK.
"Tibalah saya pada keyakinan dan pendirian yang sama dengan keterangan Ahli Bagir Manan dalam persidangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang dilakukan oleh pembentuk UU melalui UU a quo sejatinya adalah membentuk sebuah UU baru tentang KPK," kata Wahududdin membaca dissenting opinion dalam sidang yang digelar daring, Selasa (4/5/2021).
Baca juga: MK Tolak Gugatan Uji Formil UU KPK yang Diajukan Para Eks Pimpinan
Ia menilai revisi UU KPK tersebut jika dilihat secara kasat mata memang seolah terbatas membentuk perubahan.
Tapi bila diselisik, ketentuan mengenai KPK dalam UU tersebut secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur dan fungsi KPK secara fundamental.
Perubahan tersebut dianggap nampak sangat sengaja dilakukan dalam jangka waktu singkat dan dilakukan pada momentum spesifik yakni saat hasil Pilpres dan Pileg telah diketahui.
Persetujuan didapatkan hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2014 - 2019 dan beberapa minggu jelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama.
Sehingga Wahiduddin mengatakan muncul pertanyaan besar atas pembentukan UU yang dilakukan sangat singkat dan terjadi pada momentum spesifik.
Meski begitu, kondisi demikian memang tidak secara langsung menyebabkan UU tersebut inkonstitusional.
"Namun singkatnya waktu pembentukan UU a quo jelas berpengaruh secara signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat, sangat minim masukan yang diberikan masyarakat secara tulus dan berjenjang," ujarnya.
Selain itu, ketidak sinkronnya naskah akademik yang cenderung berorientasi pada pembentukan sebuah UU ketimbang merevisinya, menunjukkan bahwa telah terjadi disorientasi arah pengaturan kelembagaan KPK dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Menunjukkan bahwa dalam UU a quo telah terjadi disorientasi arah pengaturan mengenai kelembagaan KPK serta upaya pemberantasan tindak pidana korupsi," jelas Wahudidduin.
"Akumukasi berbagai kondisi tersebut menyebabkan sangat rendahnya bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU a quo," sambung dia.