Pakar Hukum: Pihak Ketiga yang Beritikad Baik, Dilindungi Secara Hukum di Saat Pandemi
“Untuk itu, isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik,” imbuh Sonyendah.
Editor: Malvyandie Haryadi
Ia juga menunjuk istilah “Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik” itu dalam lingkup pidana terdapat beberapa ketentuan, antara lain, dalam Pasal 19 dan Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU Pemberantasan Tipikor. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2003 yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 2006 juga memuat kewajiban negara melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
Menurut Sonyendah, konvensi ini menyebutkan negara wajib mengatur dengan cara membuat aturan hukum yang melindungi pihak ketiga yang beritikad baik dalam perkara tindak pidana korupsi.
Selain itu juga terdapat Putusan MK No.021/PUU-III/2005, yang pada intinya menyatakan bahwa setiap perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, dan perlindungan atas hak milik pihak ketiga yang beritikad baik.
“Dengan merujuk pertimbangan hukum putusan MK tersebut, jelas perampasan harta kekayaan pihak ketiga yang melanggar prinsip due process of law, melanggar hak asasi (hak milik) dan bentuk ketidakadilan,” kata dia.
Sonyendah juga mengingatkan, dalam konteks kondisi pandemi Covid-19, UU No. 2 Tahun 2020, juga memberikan perlindungan hukum bagi Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik, tujuan dibuatnya undang-undang tersebut dalam mengatasi masalah pandemi pandemi Covid-19, khususnya dalam mengatasi jaminan pengaman sosial melalui bantuan pangan.
Yang jelas, kata dia, selama pelaksanaan kebijakan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Doktrin Freis Ermessen yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid) tercapai, maka Pelaksana Kegiatan tersebut diberikan perlindungan secara hukum, termasuk juga Pihak Ketiga yang menyediakan pangan non tunai tersebut.
“Oleh karena tidak adanya mens rea (niat jahat) bahkan justru dengan adanya itikad baik dari pelaksana kebijakan dalam pengadaan bantuan pangan non tunai/sembako atau oleh Pihak Ketiga dalam situasi pandemi Covid-19 tersebut, yang diwujudkan dengan tidak adanya penyimpangan asas doelgerichte yaitu berupa tidak adanya conflict of interest atau tidak adanya kickback atau tidak adanya suap (bribery), maka Pelaksana Kebijakan maupun Pihak Ketiga yang membantu menyediakan bantuan pangan non tunai wajib diberikan perlindungan hukum,” terang Sonyendah.
Itu disebabkan hal itu bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dikualifikasi sebagai suatu perbuatan delik korupsi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Opini hukum Sonyendah tersebut menguatkan pendapat pakar hukum lainnya. Pekan lalu, pakar ilmu hukum pidana yang juga Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Profesor Dr. Agus Surono, SH, MH, menegaskan, pengelolaan keuangan negara di masa pandemi dan darurat—antara lain pelaksanaan bantuan sosial—tidak bisa dikatagorikan sebagai mens rea.
Pasalnya, kata Prof Agus, pengelolaan keuangan pemerintah dalam masa-masa darurat seperti itu berkaitan dengan doktrin Freis Ermessen atau diskresionare power.
“Doktrin dalam bidang pemerintahan ini intinya, dalam kondisi darurat, kondisi yang ada memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi untuk menindak tanpa harus terikat sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. Dalam masa darurat, keputusan pemerintah haruslah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid),” kata Guru Besar Ilmu Hukum tersebut.*