Pakar Hukum: Pihak Ketiga yang Beritikad Baik, Dilindungi Secara Hukum di Saat Pandemi
“Untuk itu, isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik,” imbuh Sonyendah.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik tentang risiko para pelaksana kebijakan di lapangan terkait masa kedaruratan akibat pandemi kembali mengemuka.
Kali ini pakar hukum Universitas Indonesia, Sonyendah Retnaningsih, turut urun suara. Menurutnya, pihak ketiga yang telah membantu program pemerintah di kala pandemi, seyogyanya dilindungi, dan memang telah dilindungi dengan perangkat aturan hukum yang berlaku.
Menurut Sonyendah, seharusnya semua pihak mengembalikan persoalan pada musabab atau raison d’etre terbitnya aturan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di masa pandemi Covid-19, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang.
“Salah satu latar belakangnya, pandemi Covid-19 telah berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional,” kata Sonyendah, dalam keterangannya, Jumat (7/5/2021).
Baca juga: Pakar Hukum: Lewat UU Nomor 2 Tahun 2020, Pemerintah Bisa Lakukan Penyelamatan Kesehatan
Adapun penyelamatan itu terfokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian, termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat terdampak.
Salah satu pelaksanaan, melalui jaring pengaman social, dilakukan dengan bantuan pangan nontunai (BPNT) atau bansos sembako, yang menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial, dalam pengadaannya bekerja sama dengan Pihak Ketiga, baik swasta, koperasi, Badan Usaha Milik Negara dan lainnya.
“Dalam pengadaan yang dilakukan oleh Pihak Ketiga, karena dalam situasi pandemi-Covid 19, maka selama pelaksanaannya dilakukan dengan itikad baik, yang didasarkan adanya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 (syarat sahnya perjanjian) dan 1338 ayat (1) yakni asas kebebasan berkontrak KUHPerdata, maka Pihak Ketiga tersebut wajib untuk dilindungi secara hukum,” ujar Sonyendah.
Dia menunjuk, yang dimaksud beritikad baik itu diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyebutkan: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
“Pasal ini memberi makna bahwa perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak harus dilaksanakan sesuai kepatutan dan keadilan,” tutur dia.
Itikad baik dalam jual beli merupakan faktor penting sehingga penjual/pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar, sedangkan pihak yang tidak beritikad baik patut merasakan akibat dari ketidakjujurannya tersebut.
Selanjutnya, lanjut Sonyendah, pelaksanaannya pun harus sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
“Pasal itu menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,” ucapnya.
Ia menegaskan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), kepatutan adalah tiang hukum yang wajib ditegakkan. Sebagai asas, kepatutan memiliki peran dan fungsi antara lain menambah atau mengenyampingkan isi perjanjian.
“Untuk itu, isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik,” imbuh Sonyendah.
Ia juga menunjuk istilah “Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik” itu dalam lingkup pidana terdapat beberapa ketentuan, antara lain, dalam Pasal 19 dan Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU Pemberantasan Tipikor. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2003 yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 2006 juga memuat kewajiban negara melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
Menurut Sonyendah, konvensi ini menyebutkan negara wajib mengatur dengan cara membuat aturan hukum yang melindungi pihak ketiga yang beritikad baik dalam perkara tindak pidana korupsi.
Selain itu juga terdapat Putusan MK No.021/PUU-III/2005, yang pada intinya menyatakan bahwa setiap perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, dan perlindungan atas hak milik pihak ketiga yang beritikad baik.
“Dengan merujuk pertimbangan hukum putusan MK tersebut, jelas perampasan harta kekayaan pihak ketiga yang melanggar prinsip due process of law, melanggar hak asasi (hak milik) dan bentuk ketidakadilan,” kata dia.
Sonyendah juga mengingatkan, dalam konteks kondisi pandemi Covid-19, UU No. 2 Tahun 2020, juga memberikan perlindungan hukum bagi Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik, tujuan dibuatnya undang-undang tersebut dalam mengatasi masalah pandemi pandemi Covid-19, khususnya dalam mengatasi jaminan pengaman sosial melalui bantuan pangan.
Yang jelas, kata dia, selama pelaksanaan kebijakan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Doktrin Freis Ermessen yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid) tercapai, maka Pelaksana Kegiatan tersebut diberikan perlindungan secara hukum, termasuk juga Pihak Ketiga yang menyediakan pangan non tunai tersebut.
“Oleh karena tidak adanya mens rea (niat jahat) bahkan justru dengan adanya itikad baik dari pelaksana kebijakan dalam pengadaan bantuan pangan non tunai/sembako atau oleh Pihak Ketiga dalam situasi pandemi Covid-19 tersebut, yang diwujudkan dengan tidak adanya penyimpangan asas doelgerichte yaitu berupa tidak adanya conflict of interest atau tidak adanya kickback atau tidak adanya suap (bribery), maka Pelaksana Kebijakan maupun Pihak Ketiga yang membantu menyediakan bantuan pangan non tunai wajib diberikan perlindungan hukum,” terang Sonyendah.
Itu disebabkan hal itu bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dikualifikasi sebagai suatu perbuatan delik korupsi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Opini hukum Sonyendah tersebut menguatkan pendapat pakar hukum lainnya. Pekan lalu, pakar ilmu hukum pidana yang juga Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Profesor Dr. Agus Surono, SH, MH, menegaskan, pengelolaan keuangan negara di masa pandemi dan darurat—antara lain pelaksanaan bantuan sosial—tidak bisa dikatagorikan sebagai mens rea.
Pasalnya, kata Prof Agus, pengelolaan keuangan pemerintah dalam masa-masa darurat seperti itu berkaitan dengan doktrin Freis Ermessen atau diskresionare power.
“Doktrin dalam bidang pemerintahan ini intinya, dalam kondisi darurat, kondisi yang ada memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi untuk menindak tanpa harus terikat sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. Dalam masa darurat, keputusan pemerintah haruslah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid),” kata Guru Besar Ilmu Hukum tersebut.*