Pakar Hukum Pidana: Penertiban Dunia Maya Tergantung Efektivitas Virtual Police
Dengan Virtual Police, Kapolri dinilai telah membuat terobosan di bidang politik penegakan hukum yang persuasif.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana FHUI, Teuku Nasrullah mengapresiasi pelaksanaan Virtual Police, namun harus dijalankan dalam frame dan upaya menghindari terganggunya kebebasan berekspresi dan mengemukan pendapat, kritik, dan koreksi di dunia maya.
Hal itu ia sampaikan berkenaan 100 hari Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menjabat sebagai Kapolri
Langkah hukum ini menarik, kata Nasrullah, selain pengungkapan narkoba dan pembunuhan adalah pengungkapan kejahatan di dunia digital.
Sebab dengan Virtual Police, Kapolri telah membuat terobosan di bidang politik penegakan hukum yang persuasif.
Ketika ditanya terkait pernyataan Fatia Maulidiyanti selaku Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mengatakan Virtual Police sebagai alat represi baru Polri di dunia digital, Nasrullah mengatakan kepada wartawan, bahwa pernyataan KontraS lebih bersifat peringatan dini kepada lembaga Polri agar mencegah dirinya terjebak pada langkah represif dalam penegakan hukum.
Hal ini bukan hanya sebuah kritik, melainkan juga upaya peringatan dini meskipun oleh sebagian orang terkesan sebagai sebuah opini dengan maksud penggiringan wacana.
“Masukan dan kritik itu wajar dan sangat penting tetapi kita semua jangan membangun opini yang terlalu gegabah atas program yang sedang ditempuh ini. Marilah kita berpikir positif dulu sambil menyimak dan mengkritisi perjalanannya sembari memberi masukan-masukan konstruktif untuk perbaikannya di sana-sini,” jelas Nasrullah dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Sabtu (8/5/2021).
Baca juga: Pimpinan DPR Apresiasi Program Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri
Lebih jauh, ia mengemukakan bahwa permasalahan dunia siber, tugas dan peran kepolisian selain menindak kejahatan komputer (computer crime) juga menindak kejahatan terkait komputer (computer-related crime). Dalam bagian computer-related crime itulah terdapat kejahatan berupa ujaran kebencian, penistaan, hingga penghinaan terhadap simbol negara, orang-pribadi hukum yang dilakukan di dunia maya.
“Perbuatan melanggar hukum itu yang dulu dapat terjadi dalam kehidupan keseharian, sekarang juga terjadi, tetapi ada di dunia digital. Inilah yang negara ini harus peduli dan berproses untuk mengatasi masalah, dalam upaya membangun ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Lebih lanjut Nasrullah, mengatakan, masyarakat tidak perlu merasa ketakutan dengan peringatan virtual polisi, bahkan kita harus berterimakasih dengan bergesernya Politik Hukum dibidang penegakan hukum yang semula langsung diproses, sekarang lebih kepada pendidikan dan pembelajaran kepada masyarakat dengan diingatkan jika ucapan, tulisan, dan tindakannya salah dan bersentuhan dengan hukum.
Baca juga: Sahroni Apresiasi 100 Hari Kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit Prabowo
“Masyarakat, khususnya sebagian besar warganet sangat kesal dengan pelaku kejahatan computer-related crime berupa penistaan, penghasutan, ujaran kebencian sampai penyebaran berita bohong. Setelah pelakunya diproses, mereka dilepaskan dengan cukup meminta maaf dengan materai 6.000. Sebagian menerimanya, namun bagaimana dengan korbannya. Benar kan?” ungkap dosen Pidana Universitas Indonesia asal Aceh ini.
Dengan kondisi yang ada seperti itu, Nasrullah berharap bahwa upaya Polri melalui Virtual Polisi dapat dikategorikan sebagai upaya membangun ketertiban.
“Mari kita jaga dan kawal bersama agar virtual polisi ini tidak didesign untuk mencari-cari kesalahan orang. Tetapi, mengingatkan masyarakat bahwa perilaku kita di dunia maya harus tertib, dengan cara: kita harus tertib sejak dalam pikiran, inilah tugasnya Virtual Polisi,” beber Nasrullah.