Penonaktifan 75 Pegawai KPK, Ray Rangkuti Sebut Itu Menyedihkan
Beredar Surat Keputusan (SK) penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beredar Surat Keputusan (SK) penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).
SK tertanggal 7 Mei 2021 tersebut ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Sementara untuk salinan yang sah, ditandatangani oleh Plh Kabiro SDM Yonathan Demme Tangdilintin.
Dalam SK tersebut, terlihat bahwa poin 3 menyatakan bahwa kepada pegawai yang tidak memenuhi syarat TWK menyerahkan tugas kepada atasannya sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Menanggapi hal itu, Pengamat Politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai, palu godam kehancuran KPK, makin keras berdentum.
Baca juga: Plt Jubir KPK: Meski Telah Dinonaktifkan Hak 75 Pegawai Tetap Dijamin
Menurut Ray, penonaktifan 75 staf KPK yang dianggap tidak lulus wawasan kebangsaan sangat menyedihkan dan menyesakan.
Tepat 2 hari jelang idul Fitri, dan 10 hari jelang peringatan 23 tahun reformasi, KPK menghadapi masa paling kelam dalam sejarahnya.
"UU direvisi untuk memaksa lembaga ini berada di bawah presiden, lalu staf yang memiliki reputasi hebat dinonaktifkan karena alasan sumir: tidak lolos ujian wawasan kebangsaan. Sumir karena tidak jelasnya kriteria wawasan kebangsaan yang dimaksud," kata Ray dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/5/2021).
Ray yang turut tergabung dalam Naruni '98 menambahkan, jika merujuk pada poin-poin pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan, hampir sulit membuat kesimpulan bahwa seseorang tidak memiliki wawasan kebangsaan.
Oleh karena itu, banyak warga masyarakat, dan ormas yang telah menyatakan agar hasil tes tersebut dibatalkan.
Bukan saja karena sangat sumir, tapi bahkan dipandang punya kecenderungan melecehkan kaum perempuan dan memunculkan sensitifas paham keagamaan.
Oleh karena itu, Nurani '98 mendesak :
1. KPK harus membatalkan SK penonaktifan 75 orang staf KPK semata berdasarkan tes wawasan kebangsaan. Tes ini sendiri tidak memiliki dasar hukum yang kuat. UU Revisi KPK menyebut peralihan status staf KPK bukan pemilihan.
Putusan MK juga menyatakan bahwa revisi UU KPK tidak boleh merugikan pihak pegawai KPK. Menpan RB juga sudah menyatakan bahwa tes ini dilaksanakan semata berdasarkan aturan internal KPK.
Jadi, aturan internal semestinya tidak boleh menghilangkan hak staf di dalamnya.
2. Selain berpotensi mengabaikan UU dan Putusan MK 70/PUU-XVII/2019, penonaktifan itu juga seperti mengabaikan berbagai kritik masyarakat dan ormas keagamaan yang menolak model tes tersebut diberlakukan.
Berbagai protes telah dilayangkan. Dan hampir seluruh protes dimaksud tidak pernah dijawab oleh KPK bahkan berujung pada saling lempar alasan.
Maka berdasarkan hasil tes yang semestinya tidak mengikat siapapun itu tetap dijadikan dasar oleh KPK untuk menonaktifkan 75 staf mereka yang sudah dikenal integritas dan dedikasinya bagi upaya pemberantasan korupsi.
3. Maka tes yang didasarkan pada kebijakan internal itu, sejatinya hanya boleh sampai pada derajat evaluasi dan pembinaan. Bukan dinonaktifkan.
4. Mendorong 75 staf yang dinonaktifkan agar terus menuntut hak mereka dikembalikan sebagaimana dinyatakan oleh UU dan putusan MK.
Sekalipun, nuansa pesimisnya jauh lebih kuat, tapi upaya harus terus dijalankan sampai batas akhir yang dimungkinkan oleh sistem.
5. Mendorong para aktivis 98 untuk bersama-sama menguatkan kembali gerakan anti korupsi dan tujuan reformasi.
KPK adalah simbol terakhir hasil gerakan reformasi '98 yang belum sepenuhnya dapat ditaklukan. Selain itu, di banyak tuntutan reformasi telah terjadi degradasi yang begitu kuat.
Kebebasan berpendapat, berserikat, perlindungan HAM merosot, profesionalisme TNI dan Polri yang sekarang mulai lagi kabur, tak berbilang semangat anti napotisme dan oligarki yang hampir hapus oleh siklus pemilu/pilkada lima tahunan. Nepotisme dan oligarki marak di dalam politik.
Tentu, terasa memilukan di saat kita tengah merayakan 23 tahun reformasi justru kita menemui berbagai hasil reformasi yang tengah dihancurkan.