Soal Tes Wawasan Kebangsaan, Keputusan Pimpinan KPK Dinilai Domain Legitimatif yang Sah
Keputusan KPK ini harus dilihat dari tupoksi wewenang dan Fungsi Lembaga Penegak Hukum
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana, Indriyanto Seno Adji menyikapi polemik dan isu tentang keputusan KPK terkait Penyerahan Tugas dan Tanggung Jawab Pegawai KPK sebagai sesuatu yang wajar, namun tidak disikapi secara subyektif dan emosional.
"Sebaiknya pendapat lebih dikemukakan dengan obyektif dan menghindari subyektifitas yang emosional," ujar Indriyanto, kepada wartawan, Kamis (13/5/2021).
Menurut Indriyanto, keputusan KPK ini harus dilihat dari tupoksi wewenang dan Fungsi Lembaga Penegak Hukum.
Jadi, lanjutnya, keputusan Pimpinan KPK itu dipastikan kolektif kolegial, sama sekali bukan individual Ketua KPK.
Baca juga: 75 Pegawai KPK Tak Lulus Tes Wawasan Kebangsaan ASN, Nasibnya Kini Ada di Tangan Firli Bahuri Cs
"Bahkan Dewas termasuk saya turut serta hadir pada rapat tersebut, walau selanjutnya substansi keputusan menjadi domain Pimpinan kolektif kolegial KPK," tutur pria yang menjadi Dewan Pengawas KPK ini.
Dia juga mengatakan keputusan KPK dan Diktum Kedua tentang penyerahan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung itu (dengan istilahnya bukan penonaktifan) haruslah diartikan secara hukum yang terbatas dan memiliki kekuatan mengikat yang memang hanya terhadap pegawai dimana hasil ujiannya TMS (Tidak Memenuhi Syarat) yang memegang jabatan struktural.
"Dan keputusan Pimpinan KPK masih dalam batas-batas kewenangan terikat yang dimiliki Pimpinan KPK," kata dia.
Indriyanto menilai hal ini merupakan prosedur hukum yang wajar dan masih dalam tataran proper legal administrative procedures.
Baca juga: Pengamat Minta Tes Wawasan Kebangsaan Alih Status Pegawai KPK Jadi ASN Tak Diragukan
Karenanya, kata Indriyanto, memang harus ada penyerahan sementara kepada atasan langsung.
Walau misalnya saja terjadi arahan atasan berupa keputusan dilakukan secara lisan atau mondelinge beschikking sebagai penguasan keputusan tertulis yang ada, tapi tetap sah sebagai keputusan.
Sebab makna dan tujuan keputusan tidak bertentangan dengan isi dan tujuan peraturan perundang-undangan.
"Keputusan Aparatur Negara, termasuk Pimpinan KPK ini harus selalu dianggap dan selaras dengan prinsip Presumptio Lustae Causa bahwa setiap keputusan Aparatur Negara, termasuk polemik Keputusan Pimpinan KPK yang dikeluarkan tersebut harus atau selayaknya dianggap benar menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku, karenanya dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan ada kesalahan," katanya.
"Jadi bagi saya, keputusan tersebut tidak bermasalah secara hukum, walau selalu disadari bahwa kalau terkait produk apapun di kelembagaan KPK akan selalu bisa jadi polemik yang dipermasalahkan," imbuhnya.
Dia lantas mencontohkan ruang publik melalui peradilan Tata Usaha Negara misalnya, sebagai sarana dalam makna legal solution menjadi basis kita semua yang menghargai prinsip negara hukum.
"Menurut saya dari sisi hukum, KPK hanya executioner maker, tidak menjadi dan tidak memiliki wewenang untuk melakukan kajian ulang terhadap hasil assessment BKN-RI sebagai decision makernya.
Maka sebaiknya keberatan terhadap Keputusan Pimpinan KPK tersebut diserahkan lembaga yang dapat menilai, sepanjang Keputusan sudah dianggap konkrit dan final.
Ini menjadi Hak Penuh (menggugat) bagi siapapun yang merasa dirugikan," jelas Indriyanto.
"Namun saya berharap semua organ KPK sebaiknya taat dan patuh hukum, dan bila ada keberatan atas keputusan, ada mekanisme atau prosesual hukum untuk menguji keberatan tersebut," katanya.