Busyro Muqoddas Tantang Firli Bahuri Undang Pimpinan KPK Lama untuk Bahas Polemik TWK
Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menantang agar Firli Bahuri mengundang pimpinan KPK yang lama untuk membahas polemik TWK secara terbuka
Penulis: Inza Maliana
Editor: Gigih
TRIBUNNEWS.COM - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas menantang Ketua KPK Firli Bahuri untuk mengundang para pimpinan KPK yang lama.
Undangan tersebut berfungsi untuk berdiskusi secara terbuka tentang polemik yang muncul di KPK sejak era kepemimpinannya.
Terlebih, terkait 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk beralih status menjadi ASN.
Baca juga: Tak Cukup dengan UU KPK, Busyro Muqoddas: 75 Pegawai yang Jadi Pertahanan Terakhir Ikut Dilumpuhkan
Hal ini disampaikan Busyro dalam konferensi pers "Menelisik Pelemahan KPK Melalui Pemberhentian 75 Pegawai" yang disiarkan akun Youtube Indonesia Corruption Watch (ICW).
"Pimpinan KPK kalau mau fair, jujur, bertanggung jawab dan terbuka undanglah pimpinan KPK yang lama."
"Ayo kita dialog secara terbuka dan undang wartawan. Undang wartawan biar publik, masyarakat bisa mengetahui lewat pemberitaan," kata Busyro, dikutip dari tayangan Youtube ICW, Selasa (18/5/2021).
Kemudian, Busyro meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan hasil TWK ini, sehingga ke-75 pegawai KPK yang tak lolos bisa kembali kepada posisinya.
Sebab, Busyro mengatakan, sebagian pegawai KPK yang tak lolos TWK ini sedang menangani kasus korupsi besar di Indonesia.
"Mendesak Presiden Jokowi menetapkan bahwa proses TWK itu ilegal, dan karenanya tidak tidak mempunyai akibat hukum apapun juga. Konsekuensinya 75 orang itu segera kembali pada posisi semula," tegas dia.
"Mendorong dan mendesak Presiden Jokowi sebagai yang paling bertanggung jawab atas amputasi politik ini untuk menetapkan proses TWK ini proses ilegal dan tidak sah."
"Konsekuensinya 75 orang itu harus segera dikembalikan ke fungsi awalnya," tegas aktivis Muhammadiyah asal Yogyakarta ini.
Selain itu, mantan Ketua Komisi Yudisial periode 2005-2010 ini juga berharap agar Jokowi membentuk tim independen.
Tim tersebut akan difungsikan untuk mengkaji kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh KPK.
Menurut Busyro, tim ini terdiri dari berbagai elemen, seperti pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dan para guru besar atau pakar.
"Tim independen ini ada unsur negara atau pemerintah bersama elemen demokrasi yang masih terawat dengan baik."
"Siapa itu? Ada teman-teman aktivis, ada guru besar yang semakin menunjukan sikap guru bangsanya akhir-akhir ini, dan unsur-unsur lain yang memenuhi syarat," ungkap Busyro.
Baca juga: Pakar Hukum Tanggapi Busyro Muqoddas: Sangat Kritis dan Tajam Namun Masih Prematur
Busyro Anggap Polemik TWK Upaya Pelemahan KPK
Di sisi lain, Busyro juga menyayangkan ke-75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dibebastugaskan.
Menurut Busyro, hebohnya tes wawasan kebangsaan ke-75 pegawai KPK ini menjadi bukti semakin kuatnya upaya pelemahan KPK.
Padahal, ia menilai, ke-75 orang yang terdiri dari penyelidik hingga penyidik itu merupakan pertahanan terakhir yang dimiliki KPK.
"UU KPK yang merupakan amputasi politik terhadap KPK, itu ternyata tidak cukup."
"Sisa-sisa pertahanan terakhir orang-orang militan dalam arti positif itu dimasukkan dalam kategori 75 dengan pertanyaan tidak senonoh."
Baca juga: Busyro Enggan Tanggapi Otak Sungsang Ngabalin soal TWK Pegawai KPK
"Pertanyaan yang menggambarkan unsur lembaga terkait menunjukkan ketidakproporsional dan justru merendahkan lembaga negara itu sendiri," kata Busyro.
Ia memiliki alasan menjuluki 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK sebagai pertahanan terakhir.
Sebab, sebagian di antara mereka tengah menangani kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.
"75 orang ini sebagian sedang menghandle perkara korupsi politik yang luar biasa," kata Busyro.
Di antaranya seperti kasus korupsi di KPU, korupsi yang melibatkan mantan Sekretaris MA, kemudian proyek reklamasi hingga proyek tata ruang yang melibatkan bos Lippo Grup.
Bahkan sampai pada kasus yang melibatkan mantan menteri seperti kasus benur lobster dan bantuan sosial (bansos) Covid-19.
Busyro menilai, tahapan dari revisi UU baru seperti UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU Cipta Kerja hingga polemik TWK ini adalah upaya untuk menamatkan riwayat KPK.
Kemudian, Busyro pun menyimpulkan tahapan tersebut disengaja untuk melanggengkan kepentingan politik, seperti Pemilu 2024.
Baca juga: Busyro Muqqodas Sebut Rezim Saat Ini Mirip dengan Era Orde Baru
"Terkait dengan Pemilu 2024 yang akan datang, itu akan memerlukan dana amat sangat besar sekali."
"Satu-satunya lembaga yang dikhawatirkan samngat menganggu itu KPK dengan UU yang lama."
"Maka KPK dalam logika politik seperti itu wajib dilumpuhkan dan ditamatkan riwayatnya," ungkap Busyro.
(Tribunnews.com/Maliana/Taufik Ismail)
Berita lain terkait Seleksi Kepegawaian di KPK