Tanggapi Busyro Muqoddas, Komisi III : Lebih Baik Semua Berhenti Kembangkan Sikap Suudzon
Anggota Komisi III Fraksi PPP Arsul Sani meminta semua pihak berhenti untuk berprasangka buruk atau suudzon menyikapi penonaktifan 75 pegawai KPK.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengatakan penonaktifan 75 pegawai lembaga antirasuah yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari rangkaian upaya menamatkan KPK hingga tak lepas dari kepentingan politik 2024.
Terkait hal itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani meminta semua pihak berhenti untuk berprasangka buruk atau suudzon menyikapi penonaktifan 75 pegawai KPK.
"Setelah Presiden Jokowi kemarin menyampaikan pernyataannya tersebut, lebih baik semuanya berhenti mengembangkan sikap-sikap suudzon terkait UU 19/2019 sampai dengan persoalan 75 pegawai KPK yang tak lulus dalam TWK-nya. Apalagi statement itu terus diulang-ulang, maka publik pun melihatnya sebagai hal yang sudah usang," ujar Arsul, ketika dihubungi Tribunnews.com, Selasa (18/5/2021).
Baca juga: Tak Cukup dengan UU KPK, Busyro Muqoddas: 75 Pegawai yang Jadi Pertahanan Terakhir Ikut Dilumpuhkan
Arsul lantas mendorong agar pimpinan KPK maupun pegawai KPK yang tak lolos untuk bersama-sama mengembangkan sikap 'prudent'.
"Yakni bijak dan melihat kedepan atas kepentingan pemberantasan korupsi, bukan sikap-sikap berbasis kemauan menurut sudut pandang masing-masing maupun sikap menang-menangan," jelasnya.
Sebaliknya, dari sisi pegawai KPK yang selama ini terkesan bebas berbicara dan bersikap sebagaimana layaknya LSM atau mereka yang berada di luar KPK, maka ke depan tentu akan berbeda.
Termasuk, kata Arsul, jangan terus menerus mengembangkan paradigma bahwa menjadi ASN itu maka akan kehilangan independensinya sebagai penegak hukum.
Baca juga: Pengamat: Filri Bahuri Cs agar Meminta Maaf Terkait Kekeliruan Status 75 Pegawai KPK
Menurut Wakil Ketua MPR ini ada lembaga-lembaga lain yang UU-nya menjamin independensi lembaganya dengan pegawai yang berstatus ASN, dan independensi mereka tetap terjaga.
"BPK itu lembaga dengan auditor yang berstatus ASN, tapi tidak pernah mereka menyampaikan bahwa independensinya terganggu dalam melakukan audit karena status ASN. Para penyelidik & penyidik Ditjen Penegakan Hukum di Kementerian LHK juga tidak menjadi tidak bisa independen dalam melaksanakan tugas gakum karena status ASN mereka," ujarnya.
"Jadi sudahilah sikap 'merasa paling benar sendiri dengan sudut pandangnya' dari semua pihak, termasuk mereka yang berada diluar KPK, dan mari mencari solusi yang baik agar KPK tetap dapat melaksanakan mandatnya baik dalam penindakan, pencegahan maupun pendidikan anti korupsi," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengatakan penonaktifan 75 pegawai lembaga antirasuah yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari rangkaian upaya menamatkan KPK.
Bahkan menurut Busyro, rangkaian upaya menamatkan KPK dari revisi Undang-Undang KPK hingga penonaktifan 75 pegawai tidak lepas dari kepentingan politik 2024.
Sayang Busyro tidak menyebut secara gamblang kepentingan politik siapa atau pihak mana yang ia maksudkan.
“Dari fakta dan gejala-gejala itu, saya ingin menyimpulkan fenomena atau kasus TWK ini marilah kita konstruksikan atau tidak lepas dari konstruksi yang terkait dengan kepentingan politik. Kepentingan politik apa? Kepentingan politiknya itu adalah yang terkait dengan Pemilu 2024 yang akan datang,” ujarnya dalam Konferensi Pers Virtual: Menelisik Pelemahan KPK melalui Pemberhentian 75 Pegawai, seperti disiarkan langsung di Channel Youtube Sahabat ICW, Senin (17/5/2021).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.