Dunadi Ceritakan Angka-angka 'Keramat' di Balik Patung Bung Karno
Sebelum membuat monumen Bung Karno, Dunadi mengaku sempat mengalami hal-hal gaib.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dunadi (60), menceritakan proses di balik pembuatan patung Bung Karno. Sejak tahun 80an, ia telah membuat 15 patung pendiri bangsa ini.
Dunadi telah meminati dunia seni sejak kecil. Bahkan bakatnya itu mulai terlihat ketika beranjak Sekolah Dasar (SD).
Ia memenangi juara pertama lomba lukis se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mulai menggeluti dunia seni patung sejak Sekolah Menengah Atas (SMA).
"Patung itu banyak tantangannya. Itu yang membuat saya tertarik," ujar Dunadi kepada Tribun Network, Kamis (21/5/2021) malam.
Dunadi merupakan lulusan Akademi Seni Rupa Yogyakarta.
Ia mengagumi sosok Edhi Sunarso, seorang maestro pematung Indonesia dan Saptoto.
Edhi dikenal sebagai pembuat Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Sedangkan Saptoto adalah seniman di Balik Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Hingga kini, Dunadi sudah membuat sekira 60 monumen.
Khusus monumen Bung Karno, Dunadi telah membuat sekira 15 monumen.
Sebelum membuat monumen Bung Karno, kata dia, sempat mengalami hal-hal gaib.
"Ada dari segi mimpi, dari segi lainnya, tapi saya abaikan," tutur Dunadi.
Dalam proses pembuatan patung itu, Dunadi menyelipkan pesan-pesan kebangsaan.
Di antaranya bermakna hari kemerdekaan Indonesia dan Pancasila.
"Dudukan (monumen) itu yang paling bawah itu segi lima, kemudian yang atasnya lagi dudukannya itu segi empat, dudukan yang ketiga itu segi delapan, dengan maksud itu 8 Agustus," kata Dunadi.
"Kalau itu dijumlah, empat, lima, dan delapan, itu jadi 17. Jadi 5 bawah landasan, itu bermakna Pancasila. Beliau proklamator juga ber-Pancasila, pencetus juga. Kemudian 5, 4, 8, dijumlah 17. 17 harinya, 8 bulannya, 45 tahunnya," sambungnya.
Berikut wawancara khusus Tribun Network bersama Dunadi:
Bagaimana awal mula ketertarikan menggeluti seni patung?
Sejak SD saya sering ikut lomba melukis. Waktu itu dapat pemenang pertama melukis se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di SMP juga demikian. Saya masuk SMA diarahkan ke seni patung.
Berbicara masalah bentuk, dimensi, volume, dan lain-lain. Memang di patung itu tidak ada daya tariknya karena berbicara volume, kalau di lukis bicara masalah warna. Kalau patung banyak tantangan.
Di situ lah ketertarikan saya.
Ternyata di patung kan' tidak hanya bikin orang saja, tapi bisa binatang, mengolah suatu bentuk. Yang lebih asik lagi, dasar itu memang realis.
Saya tertariknya belajar anatomi, ekspresi, gerak-gerak dinamis, di situ banyak tantangan. Di situlah daya tarik yang saya tekuni.
Di dunia patung memang tidak seperti di dunia lukis. Tahun 1982 saya perdalam di Akademi Seni Rupa Jogja. Saya masuk ke akademi 1982.
Saya berlanjut ke Akademi Seni Patung. Sekarang di ISI Yogyakarta. Di situ saya memperdalam dunia patung.
Ternyata tantangannya banyak, kemudian persaingannya tidak banyak. Karena jarang ya waktu itu. Waktu itu yang saya kagumi Pak Edhi Sunarso, Pak Saptoto.
Baca juga: Cerita Dunadi, Seniman Pembuat 15 Monumen Bung Karno
Di situ saya sudah terkecimpung di dunia seni patung. Saya mengikuti proyek-proyek.
Proyek pemerintah, proyek bandara, di situlah tantangan-tantangan itu. Setelah itu baru saya berdikari sendiri untuk mendirikan Studio Satiaji.
Karena patung tidak harus individu, harus kolaborasi, bagaimana menciptakan seni patung itu kita harus bikin tim.
Kita ide-ide, karena patung itu ada proses perencanaan, maket, baru visualisasi ke skala yang kita inginkan. Dunia patung memang sangat luar biasa.
Di dunia seni patung itu marketnya sangat luar biasa. Makanya kita menciptakan lapangan kerja, anak-anak SMA saya beri pelajaran cetak-mencetak, memproduksi patung kecil-kecil.
Seniman itu kan' idealisnya harus kuat. Tapi dengan idealis itu kita butuh uang untuk menciptakan idealis itu.
Dari situlah seni patung bisa diproduksi. Dari modal itulah saya bikin tim untuk berkarya. Makanya dari awal saya menciptakan lapangan kerja untuk produk kecil-kecil.
Karena marketing itu sangat luas, daerah pariwisata, setiap daerah ada khas tersendiri, cenderamata sendiri.
Dari situ saya tergugah. Walau saya sebagai seniman harus memikirkan bagaimana menciptakan lapangan kerja dan bagaimana menghidupi diri sendiri.
Makanya saya juga menciptakan proyek juga karya pribadi atau karya masterpiece. Saya sering pameran produk, kalau pameran masterpiece saya ikut di Galeri Nasional.
Asosiasi Pematung kebetulan saya Sekjen. Dari situ saya menangani proyek pemerintah, individu, menangani museum-museum. Sampai sekarang itu lah kelanjutan dari profesinya.
Apa patung yang pertama kali dibuat dan paling berkesan?
Patung yang dibuat pertama kali itu banyak. Yang paling berkesan itu setelah lulus dari universitas, saya membuat monumen Ahmad Yani yang di Purworejo.
Itu sangat berkesan sekali. Saya tertarik karena Purworejo ada tokoh nasional Pak Ahmad Yani, tapi kenapa di Purworejo tidak ada monumennya.
Saya waktu itu masih muda. Saya punya ide lalu sowan ke Pak Bupati. Saya lulus dari ASRI, ini di Purworejo ada tokoh nasional kok tidak ada patungnya. Diterima baik, ide bagus.
Itu pertama kali saya menciptakan patung yang besar itu. Itu patung empat meter. Dari situ saya berpengalaman. Akhirnya saya mendatangkan keluarga Pak Yani.
Untuk melakukan riset. Karena saya kan' hanya medium. Dulu Pak Yani bagaimana karakternya, sikapnya, badannya seperti apa, itu keluarga yang memberi masukan.
Baca juga: Anggota Dewan Pembina Gerindra Mulyadi Ziarah ke Makam Soekarno dan Soeharto
Kalau udah di ACC dari pihak keluarga baru kita bikin berita acara kalau ini sudah selesai model. Baru proses cetak.
Jadi dari modeling itu ada pembenahan kurang apa, proporsi kurang pas kita perbaiki. Itu sangat berkesan sekali. Proses patung itu tergantung besar dan kecilnya.
Kedua dari bahannya apa. Kalau tembaga agak lama. Kemudian proses yang agak lama sebenarnya proses modeling. Menentukan dana patung itu dari modeling itu.
Karena step by step dari proses perencanaan bagaimana baiknya kita menentukan besar kecilnya, jarak pandangnya, konstruksinya bagaimana, geraknya bagaimana.
Setelah disetujui owner baru kita bikin maket, misal 30 cm, kita skala kebutuhan kita bisa dijadikan 6 meter. Dari skala itu kita besarkan dari insting saja.
Kalau di studio bisa dilihat proses-prosesnya. Dari situ sebenarnya penjiwaan kita, talenta kita, kita curahkan di situ.
Komposisi Bung Karno misalnya itu ideal sekali. Banyak orang bikin patung Bung Karno banyak persis, pakai peci, pakaiannya khas. Tapi dari segi karakternya belum tentu.
Itu yang sulit, belum bicara geraknya, ekspresinya, perlu penjiwaan, perlu istilahnya ya kalau talentanya kuat, terwujud saja. Cuma isinya kan' belum tentu.
Bagaimana awalnya Anda bisa diminta untuk membuat patung Bung Karno di Lemhannas?
Prosesnya itu, saya dapat pekerjaan dari FX Rudy Wali Kota Solo. Mau bikin patung yang diletakkan di Manahan. Beliau bikin patung, "Pak tolong saya dibikinkan patung yang kayak di Blitar,". Saya kaget juga, di Blitar itu kan' karyanya orang lain.
Pak Rudy bilang, "Tidak apa-apa ini kan' perintah dari PDI. Saya kan' pecinta Bung Karno,". Kalau saya rubah gini gimana pak biar tidak sama seperti di Blitar, tapi katanya harus sama dan kalau bisa lebih baik. Ya sudah saya bikin tapi lebih besar jadi 3 meter.
Tanggapannya bagus, kebetulan Pak Rudy sering mengantar Bu Mega kalau di Solo, Bu Mega melihat wah patungnya bagus.
Kemudian Pak Rudy manggil saya lagi, katanya Ibu mau bikin patung seperti yang di Manahan. Tapi tolong kalau bisa yang lebih besar lagi, rencana untuk mengganti patung yang di Lemhannas.
Karena di Lemhannas itu kan' patungnya terlalu kecil yang di depan. Kalau bisa dibikin seperti yang itu, baca buku, biar temanya sama seperti di Lemhannas, pendidikan, dan dibikin yang lebih besar, tapi jangan sampai menutupi gedung.
Saya bikin perencanaan dan model yang lebih besar sekitar 4 meter. Kemudian dudukannya itu semua sudah saya rancang. Itu ada artinya.
Jadi dudukan itu yang paling bawah itu segi lima, kemudian yang atasnya lagi dudukannya itu segi empat, dudukan yang ketiga itu segi delapan, dengan maksud itu 8 Agustus. Kalau itu dijumlah, empat, lima, dan delapan, itu jadi 17.
Jadi 5 bawah landasan, itu bermakna Pancasila. Beliau proklamator juga berPancasila, pencetus juga. Kemudian 5, 4, 8, dijumlah 17. 17 harinya, 8 bulannya, 45 tahunnya. (tribun network/denis destryawan)