Sederet Pertanyaan TWK Pegawai KPK: Pilih Alquran Atau Pancasila hingga Lepas Kerudung demi Negara
Puput, demikian sapaan akrabnya adalah salah satu nama yang disebut-sebut termasuk dalam 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA—Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tri Artining Putri menyebut sejumlah pertanyaan janggal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pertanyaan-pertanyaan itu dinilai tidak punya korelasi dengan wawasan kebangsaan.
Puput, demikian sapaan akrabnya, termasuk dalam 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Pewawancara atau asesor melayangkan pertanyaan pilihan kepada pegawai KPK untuk memilih Al-Quran atau Pancasila.
“Ada juga yang ditanya terkait dengan pilih mana Al-quran atau Pancasila. Seolah-olah Al-quran dan Pancasila tidak bisa berjalan beriringan,” ujar Putri dalam diskusi daring bertajuk: “Mengurai Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Minggu (30/5/2021).
Baca juga: Saat TWK, Pegawai KPK Ditawari Jadi Isteri Kedua oleh Pewawancara
“Seolah-olah di Pancasila, tidak ada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka seolah-olah Al-quran tidak bisa sejalan dengan Pancasila,” jelasnya.
Saat itu, temannya itu didesak harus memilih salah satu antara Al-quran atau Pancasila.
“Teman saya sudah menjawab, ‘saya sebagai umat Islam saya berpegang teguh kepada Al-quran, tapi kalau sebagai warga negara, saya ikut ideologi negara yaitu Pancasila.’ Enggak bisa harus pilih salah satu, akhirnya teman saya bilang ya sudah saya pilih Alquran,” ucapnya.
“Mungkin itu yang disebut menjadi radikal dan tidak lulus, saya juga nggak tahu,” katanya.
Baca juga: Pimpinan KPK Terima Masukan Penundaan Pelantikan Pegawai Lolos TWK Jadi ASN
Kemudian ada pula pertanyaan lain, lanjut dia, apakah bersedia atau tidak membuka hijab demi bagsa dan negara. Temannya menjawab tidak bersedia untuk itu.
“Ada yang diminta lepas kerudung demi bangsa dan negara, bersedia atau tidak. Teman saya bilang, tidak bersedia. Lalu dibilang, ‘egois kali kamu ya nggak mau melepas jilbab demi bangsa dan negara,’” ujarnya.
“Padahal teman saya bilang apa korelasinya harus lepas kerudung untuk bangsa dan negara. Kami semua merasa apa korelasi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan wawasan kebangsaan, kalau memang untuk mendapatkan label wawasan kebangsaan kami harus rela dilecehkan,” jelasnya.
Selain itu ada juga pegawai perempuan alami pelecehan yang dilakukan pewawancara berjenis kelamin laki-laki itu terjadi terhadap seorang pegawai KPK berjenis kelamin perempuan berusia 35 tahun dan belum menikah.
“Saya mendapat beberapa cerita yang sangat bikin memprihatinkan dan bikin sedih begitu ya. Usianya sekitar 35 tahun yang belum menikah, lalu ditanya ‘kenapa belum menikah umur segini?’” tutur Putri.
“Lalu ditanya jangan-jangan LGBT, apa masih punya hasrat atau tidak. Lalu ditutup dengan bagaimana kalau nikah sama saya saja, mau nggak jadi istri kedua,” jelasnya.
Meskipun akhirnya si pewawancara mengakui itu hanya candaan, dia menilai, permyataan itu tetap merupakan sebuah pelecehan seksual terhadap perempuan.
“Lalu dengan entengnya pewawancara yang laki-laki itu berkata enggak usah diambil hati ya mbak itu tadi saya cuma bercanda loh,” ucapnya.
“Itu bukan candaan tetapi itu pelecehan” tegasnya.
Selain itu dia menilai tak ada korelasi soal dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan pemberantasan korupsi.
Diketahui, Putri merupakan satu dari 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK.
Dirinya belum mengetahui apakah masuk kategori 51 pegawai yang dilabeli merah atau masuk kategori 24 yang bisa dibina.
Baca juga: Ratusan Pegawai KPK Lulus TWK Minta Pelantikan Ditunda: Kami Tahu Betul Prosesnya Tidak Benar
"Korelasi soal dengan antikorupsi menurut saya nol, karena dari 200an soal yang saya jalani dan 45 menit wawancara dengan asesor, itu tidak ada sama sekali terkait dengan antikorupsi," kata Putri.
Dia mencontohkan bagaimana soal-soal yang dikerjakannya tidak menyinggung kebijakan yang berkaitan dengan pemberantasan antikorupsi serta payung hukumnya.
"Misalnya apakah saya mengingat UU Tipikor atau saya mengingat tentang UU tahun 2019 itu tidak ada," katanya
Ada satu soal, dikatakan Putri, tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau KKN. Namun, Putri tak mengingatnya sebab soal itu tidak memorable.
Begitu juga saat tes wawancara dengan asesor dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), Putri tidak melihat adanya semacam perkenalan asesor dari instansi mana.
Putri membayangkan jika seorang asesor memperkenalkan diri dari instansi terkait dan tujuannya untuk mewawancara.
"Tidak ada perkenalan juga. Kalau beredar BKN punya rekamannya, tidak ada pemberitahuan kepada kami bahwa 'wawancara ini akan direkam' tak ada pemberitahuan seperti itu," katanya
"Jadi begitu saya masuk sudah ada dua asesor yang menunggu. Keduanya laki-laki, langsung bertanya, pegang data. Soal-soalnya tak ada hubungan dengan antikorupsi, malah cenderung melecehkan," tandas Putri.(*)