Dipilih Presiden atau Tradisi Giliran 3 Angkatan? Ini Aturan Hukum Pergantian Panglima TNI
Simak aturan hukum pergantian Panglima TNI termasuk ketentuan dan prosesnya yang tertuang dalam undang-undang
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, dikabarkan akan purna tugas pada akhir tahun ini.
Seiring dengan hal itu, kabar nama calon penggantinya mencuat belakangan.
Nama-nama kepala staf angkatan pun muncul, termasuk Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono.
Masih ada juga nama kepala staf angkatan dari matra lainnya, yakni Kepala Staf Angkatan Darad (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.
Lalu bagaimana aturan hukum pergantian Panglima TNI termasuk ketentuan dan prosesnya?
Baca juga: POPULER Nasional: Ganjar Soal Nyapres | Alasan Dipilihnya Abdee Slank jadi Komisaris Telkom
Tak sedikit kabar berhembus bahwa calon Panglima TNI dijabat bergilir dari tiga angkatan yang ada.
Presiden juga memiliki hak istimewa atau hak prerogatif untuk memilih dan mengusulkan calon Panglima TNI.
Baca juga: Selain Andika Perkasa, Laksamana Yudo Margono Disebut Layak Jadi Panglima TNI, Ini Harta Kekayaannya
Kedua hal tersebut diketahui telah tercantum dalam undang-undang dan terikat oleh hukum.
Yakni tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
Inilah aturan hukum pergantian Panglima TNI termasuk ketentuan dan prosesnya dikutip dari laman resmi DPR:
Aturan hukum pengangkatan Panglima TNI khususnya tertulis dalam Pasal 13 UU Nomor 34 Tahun 2004 TNI.
Terdapat sepuluh ayat dalam pasal tersebut.
Yakni mengatur mulai dari TNI dipimpin oleh seorang Panglima, pengangkatan dan pemberhentian Panglima, perwira tinggi dapat tiap-tiap angkatan dapat bergantian menjabat Panglima.
Dalam pasal tersebut juga diatur proses pengajuan nama calon Panglima untuk mendapat persetujuan DPR.
Ini rinciannya:
Pasal 13
(1) TNI dipimpin oleh seorang Panglima.
(2) Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.
(4) Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
(5) Untuk mengangkat Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden mengusulkan satu orang calon Panglima untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap calon Panglima yang dipilih oleh Presiden, disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan persetujuan calon Panglima diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(7) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Presiden mengusulkan satu orang calon lain sebagai pengganti.
(8) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden, DewanPerwakilan Rakyat memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya.
(9) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dianggap telah menyetujui, selanjutnya Presiden berwenang mengangkat Panglima baru dan memberhentikan Panglima lama.
(10) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden.
Tak Pasti Bergiliran
Pernah diberitakan Kompas.com pada 10 Juni 2015, saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah jika Presiden Joko Widodo dinilai mendobrak tradisi menggilir angkatan dalam memilih calon panglima TNI.
Menurut Kalla, pola penggiliran angkatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang.
Tradisi tersebut juga tidak pasti.
"Dulu tradisi itu sebenarnya juga tidak pasti, waktu zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) memang ada, tapi ada juga yang duoble (gilirannya)" kata Kalla di Jakarta, Rabu (10/6/2015).
Namun, ia tidak menjelaskan lebih jauh pernyataannya mengenai duoble giliran saat pemerintahan SBY.
Kalla mengatakan bahwa berdasarkan undang-undang, syarat calon panglima TNI di antaranya menjabat kepala staf angkatan.
Tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa Presiden harus menggilir angkatan.
Menurut Kalla, pemilihan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon Panglima TNI oleh Presiden karena Gatot sosok terbaik.
Penunjukkan calon panglima TNI ini sudah didiskusikan Jokowi dengan Kalla.
"Selalu memilih yang pada dewasa ini kira-kira baik dan mampu, itu saja. Kalau sudah ke angkatan kan sudah baik," ujar dia.
DPR saat itu akan meminta penjelasan Presiden terkait keputusannya itu.
Diajukannya nama Gatot dinilai mengubah tren yang dilakukan SBY, yang memilih secara bergiliran dari setiap angkatan yang ada.
Panglima TNI dua periode sebelumnya dijabat dari Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
Jika mengikuti tren yang dilakukan SBY, maka Panglima TNI selanjutnya berasal dari Angkatan Udara.
"Ini tren baru, tentu DPR berharap Presiden menjelaskan ini," kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, menyatakan, keputusan Presiden menunjuk Gatot sebagai calon panglima TNI telah diperhitungkan dengan matang.
Ada pertimbangan penguatan organisasi di tubuh TNI untuk menghadapi perubahan geopolitik dalam keputusan Presiden tersebut.
(Tribunnews.com/ Chrysnha/Kompas.com/ Icha Rastika)