Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pasal Penghinaan Presiden dan DPR di RUU KUHP: Menkumham Anggap Lumrah, PSI Menolak

Pasal penghinaan presiden dalam pembahasan RUU KUHP menjadi pro dan kontra, Menkumham anggap lumrah hingga PSI menolak

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in Pasal Penghinaan Presiden dan DPR di RUU KUHP: Menkumham Anggap Lumrah, PSI Menolak
Ist
Menkumham Yasonna Laoly dalam peringatan Hari Dharma Karyadhika (HDKD) atau Hari Ulang Tahun Kemenkumham 2020, Selasa (27/10/2020). (IST) 

TRIBUNNEWS.COM - Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) terbaru masih menjadi bahasan dalam rapat antara Komisi III DPR RI dan Menkumham Yasonna Laoly.

Satu dari beberapa delik pasal yang menjadi perhatian adalah penghinaan presiden dan DPR dalam RUU KUHP.

Pro dan kontra mencuat dalam bahasan tersebut.

Menkumham menganggap aturan yang mengatur, tindak penghinaan terhadap presiden contohnya, telah diterapkan di beberapa negara.

Sementara, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany, menolak masuknya delik tersebut dalam RUU KUHP dengan alasan kebebasan berpendapat.

Baca juga: Dinilai Berpotensi Mengganggu Kebebasan Pers, AJI Minta Pemerintah Hapus Pasal 281 RUU-KUHP

Di sisi lain, usulan dari politikus Gerindra muncul untuk mengalihkan pasal penghinaan presiden ke ranah perdata.

Inilah fakta-fakta yang dirangkum Tribunnews.com terkait bahasan pasal penghinaan presiden dan DPR dalam RUU KUHP.

Berita Rekomendasi

Penjelasan Yasonna

Diberitakan Tribunnews.com, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengungkap alasan dimasukkannya pasal penghinaan presiden di RUU KUHP adalah agar masyarakat tak menjadi liberal. 

Menurut Yasonna, pasal semacam itu sudah lumrah diterapkan di beberapa negara, seperti Thailand dan Jepang. 

"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau membiarkan (penghinaan terhadap presiden, - red). Tadi dikatakan, kalau di Thailand malah lebih parah, jangan coba-coba menghina raja itu urusannya berat. Bahkan di Jepang atau di beberapa negara (pasal) itu hal yang lumrah. Nggak bisa kalau kebebasan sebebas-bebasnya, itu bukan kebebasan, itu anarki," ujar Yasonna, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu (9/6/2021).

Yasonna juga menegaskan bahwa pasal ini berbeda dengan yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Baca juga: Raker dengan Komisi III, Menkumham Sebut RUU KUHP Direspon Positif Masyarakat 

Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK diketahui pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Menurutnya, pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP merupakan delik aduan. Selain itu, pasal itu ditujukan bukan bagi mereka yang memberikan kritik, melainkan bagi mereka yang menyerang harkat dan martabat presiden. 

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas