Pemerintah Akan Revisi 4 Pasal Karet UU ITE, dari Pencemaran Baik hingga Penyebaran Hoaks
Pemerintah akan segera mengajukan revisi terbatas terhadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke DPR
Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akan segera mengajukan revisi terbatas terhadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke DPR. Revisi terbatas bakal dilakukan pada 4 pasal UU ITE.
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, empat pasal yang akan direvisi yakni Pasal 26 (tentang penggunaan data pribadi), Pasal 27 (distribusi konten terkait kesusilaan, judi, hingga pencemaran nama baik), Pasal 28 (tentang penyebaran hoaks hingga SARA), dan Pasal 36 (tentang perbuatan terkait konten yang dianggap merugikan).
Selain revisi terhadap empat pasal itu, Mahfud menyebut ada penambahan pasal baru di UU ITE, yakni Pasal 45c.
Baca juga: Ini 4 Pasal UU ITE yang akan Direvisi, Mahfud MD: Untuk Hilangkan Multitafsir hingga Pasal Karet
"Revisi terhadap UU ITE akan dilakukan revisi terbatas yang menyangkut substansi. Ada empat pasal yang akan direvisi yaitu pasal 27, 28, 29, dan pasal 36. Ditambah satu pasal 45C itu tambahannya," ujar Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (8/6/2021).
Ia mengatakan keputusan revisi terbatas merupakan hasil kerja tim yang dibentuk pemerintah untuk mengkaji Revisi UU ITE.
Tim ini sebelumnya telah mengkaji kemungkinan revisi dan membuat kriteria implementasi.
Baca juga: Mahfud MD Contohkan Kasus Baiq Nuril Untuk Jelaskan Revisi Terbatas UU ITE
Tim kajian itu, kata Mahfud, terdiri dari 55 orang dan merupakan unsur pemerintah, DPR, parpol, serta masyarakat. Selain itu, para pelapor terjadinya tindak pidana ITE, para korban, hingga aktivis dan praktisi turut dilibatkan.
"Kementerian dan lembaganya ada 6, Kemenkominfo, Polri, Kejaksaan, MA, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kemenkumham. Nah itu yang ikut. Hasilnya itu tadi dilakukan revisi terbatas untuk jangka pendek," beber dia.
Mahfud menjelaskan, berdasarkan kajian pemerintah, revisi terbatas bertujuan untuk meminimalisir terjadinya multi tafsir terhadap isi pasal.
"Itu semua untuk, satu menghilangkan multi tafsir, menghilangkan pasal karet, dan menghilangkan kriminalisasi yang kata masyarakat itu banyak terjadi. Kata masyarakat sipil diskriminasi kriminalisasi, makanya kita perbaiki," ucap Mahfud.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebut perubahan sejumlah pasal ini dilakukan tanpa harus mencabut UU ITE. Menurutnya, UU ITE masih sangat diperlukan.
"Kita perbaiki tanpa mencabut Undang-Undang ITE itu. Karena undang-undang itu masih sangat diperlukan untuk atur lalu lintas komunikasi di dunia digital," ujarnya.
"Kita tidak memperluas UU itu tapi undang-undangnya itu hanya direvisi agar pasal-pasal karetnya itu, yang dianggap menimbulkan diskriminasi atau kriminalisasi itu hilang," kata Mahfud.
Mahfud menyebut Presiden Jokowi juga sudah menyetujui rencana revisi 5 pasal di UU ITE ini.
Selanjutnya, pemerintah akan mengusulkan ke DPR sesuai proses legislasi yang berlaku.
"Itu yang satu selesai ini laporan ke Presiden dan ini nanti akan dimasukkan melalui proses legislasi, akan dikerjakan oleh Kemenkumham untuk penyerasian atau untuk sinkronisasi dan dimasukkan ke proses legislasi berikutnya," kata Mahfud.
Kemenkumham nantinya akan menyusun draf revisi UU ITE. Hasil revisi tersebut akan segera disampaikan ke DPR.
Sembari menunggu proses revisi terhadap lima pasal di UU ITE rampung, Kemenkopolhukam akan menyiapkan Surat Keputusan Bersama (SKB).
SKB yang dimaksud merupakan pedoman kriteria implementasi yang nantinya akan diberlakukan di tengah masa revisi UU ITE.
Menurut Mahfud, ada tiga pihak yang akan menandatatangi SKB itu yakni Kapolri, Jaksa Agung dan Menkominfo.
"Itu sambil menunggu revisi Undang-undang, itu bisa dijadikan pedoman agar tidak terjadi kesewenang-wenangan kalau itu ada. Baik di pusat maupun di daerah," kata Mahfud.
"Nah ini sudah bisa diluncurkan karena sudah dibahas berkali-kali melalui ketiga institusi itu dan sudah diulang-ulang, sehingga nanti tinggal diluncurkan dalam waktu yang tidak terlalu lama," imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menghendaki revisi UU ITE jika dianggap multitafsir alias karet oleh masyarakat.
Restu revisi ini keluar di tengah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dan sejumlah kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mencatat sedikitnya ada sembilan pasal bermasalah yang perlu direvisi atau dihapus dalam UU ITE.
Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3). Kemudian Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2) huruf a, Pasal 40 ayat (2) huruf b, dan Pasal 445 ayat (3).
Omnibus Law
Pada kesempatan yang sama Mahfud mengatakan bahwa saat ini pemerintah juga tengah merancang Undang-undang yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik.
Undang-undang ini akan berbentuk seperti Omnibus Law tapi di bidang digital.
Berbeda dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Omnibus Law ini nantinya akan lebih luas dan mencakup semua hal yang berkaitan dengan perkembangan digital.
"Kita memutuskan untuk membuat Omnibus Law di bidang elektronik, di samping yang sudah ada. Itu akan segera dikaji ulang agar kita mempunyai kekuatan pertahanan di dunia digital," ujar Mahfud.
Rencana pembentukan Omnibus Law bidang elektronik ini bermula dari sejumlah paparan yang disampaikan Badan Intelejen Negara (BIN) berkaitan dengan perkembangan digitalisasi yang semakin pesat.
Terlebih, undang-undang yang sudah ada saat ini tidak serta merta dapat mengatur berbagai hal yang ada di dunia digital.
Karenanya diperlukan satu undang-undang khusus yang disusun untuk mencakup banyak hal berkaitan dengan dunia digital.
"Kan harusnya ada perlindungan data konsumen, perlindungan data pribadi, transaksi elektronik ini. Meskipun namanya Undang-undang transaksi dan elektronik, ini kan tidak ada transaksi dalam arti uang," ucap Mahfud. "Nah nanti itu akan diatur semua melalui suatu Undang-undang yang lebih komprehensif," sambungnya.
Kendati demikian, Mahfud mengatakan dibutuhkan waktu yang lebih panjang dalam penyusunan Omnibus Law bidang elektronik agar lebih komprehensif.
Selain itu, ia menekankan tujuan dari rancangan Omnibus Law ini juga untuk memperkuat pertahanan di dunia digital.
"Sekarang kan banyak tuh serangan intelijen, serangan terhadap pertahanan kita dan sebagainya, masih banyak yang bolong-bolong. Nah ini (rencana) yang jangka panjang," tutupnya.(tribun network/git/dod)