Puteri Komarudin Minta Kemenkeu Hati-hati Soal Pajak atas Barang Kebutuhan Pokok
Menurutnya, sudah seharusnya Kemenkeu mencari jalan lain yang tidak menambah beban masyarakat khususnya kalangan menengah-bawah.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Puteri Komarudin, meminta Kementerian Keuangan sangat hati-hati jika hendak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok. Sebab, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2021 masih mengalami kontraksi minus 0,74 persen (yoy). Dengan angka tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mampu kembali ke zona positif, setelah mengalami kontraksi 4 kali berturut-turut sejak kuartal II-2020. Kala itu, ekonomi RI menyentuh minus 5,32 persen (yoy).
Selain itu, jika melihat kondisi di lapangan, para pengusaha rumah makan juga mengeluh karena omzet mereka turun. Keluhan serupa dirasakan para pengemudi taxi dan ojek daring. Belum lagi banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pemotongan gaji karyawan. Begitupun, sistem belajar daring dan adanya sebagian kantor yang menerapkan untuk bekerja dari rumah (WFH) juga sangat memukul para pedagang kecil.
Selain itu, mayoritas pedagang bahan pokok di pasar maupun warung kecil, umumnya pengusaha kecil-menengah dengan pelanggan dari kalangan yang sama. Padahal, mayoritas pembeli barang kebutuhan pokok saat ini mengalami penurunan daya beli akibat pandemi. Makanya seharusnya kita fokus untuk menjaga kemampuan konsumsi bagi kalangan tersebut. Terlebih, perlu diingat bahwa komponen konsumsi rumah tangga ini menjadi kontributor terbesar yang mencapai sekitar 57 bagi perekonomian kita.
Puteri memahami tingginya kebutuhan pemerintah untuk mengejar target penerimaan negara. Namun, seharusnya Kemenkeu mencari jalan lain yang tidak menambah beban masyarakat khususnya kalangan menengah-bawah. Walaupun pada akhirnya pemerintah terpaksa harus menaikkan bahan pokok, hendaknya disesuaikan dengan jenis kalangan yang mengkonsumsi. Makanya, pengenaan PPN atas bahan pokok hendaknya dilakukan setelah perekonomian mulai pulih. Karena hal ini dikhawatirkan dapat mendistorsi proses pemulihan daya beli masyarakat. Untuk itu, Puteri berharap pemerintah mencari solusi lain yang tidak memberatkan masyarakat utamanya kalangan menengah-bawah.
Kemenkeu hendaknya juga tidak mengabaikan aspek psikologis yang dirasakan masyarakat saat ini. Sebab, mereka akan membandingkan adanya insentif untuk pembelian kendaraan roda empat hingga properti. Walaupun insentif tersebut bertujuan baik, namun hal itu bisa dimanfaatkan pihak tertentu yang menganggap seakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat kecil. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hal tersebut justru bisa memicu ketegangan dan kerawanan sosial. Untuk itu, wacana ini perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Ketimbang menarik pajak pada kebutuhan pokok, pemerintah sebetulnya bisa memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital. Apalagi sektor ini justru mengalami pertumbuhan di tengah pandemi yang juga melibatkan banyak konsumen dari kalangan yang relatif mampu.
Sekadar informasi, pemerintah berencana untuk mengenakan tarif PPN pada barang kebutuhan pokok. Hal tersebut tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar di media. Yang termasuk ke dalam kategori barang kebutuhan pokok, diantaranya seperti beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, susu, telur. (*)