9 Parpol Tak Ikut Verifikasi Faktual Pemilu 2024, Perludem Sebut 4 Potensi Problematika Hukumnya
Titi Anggraini menjelaskan sembilan parpol akan tidak ikut verifikasi faktual pemilu 2024.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 55/PUU-XVIII/2020 tentang verifikasi Partai Politik (Parpol) terus berpolemik.
Putusan tersebut dinilai tiket masuk bagi sembilan partai politik (parpol) yang sudah lolos parliamentary threshold (PT).
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan sembilan parpol akan tidak ikut verifikasi faktual pemilu 2024.
Sembilan parpol itu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Tentu akan ada sembilan partai politik yang tidak ikut verifikasi faktual. Artinya, mereka tidak diperiksa saat tahap persyaratannya karena tidak ikut verifikasi faktual,” ujar Titi dalam diskusi daring “Verifikasi Parpol Peserta Pemilu: Karpet Merah untuk Parpol Parlemen dan Ketidakbulatan Suara Hakim MK, seperti disiarkan di Kanal Youtube Perludem, Senin (14/7/2021).
Baca juga: Jokowi Sebut Pada Waktunya Nanti akan Besikap Soal Pilpres 2024
Titi melihat ada sejumlah potensi problematika hukum yang bisa terjadi atau muncul, ketika sembilan partai politik di Parlemen itu harus ikut verifikasi administrasi tapi tidak ikut verifikasi faktual.
Pertama kata dia, potensi kepengurusan ganda.
Potensi kepengurusan ganda ini bisa saja, misalnya, lanjut dia, identitas berbeda tapi ternyata orangnya sama.
“Ini pengalaman temen-temen banyak yang seperti ini,” jelasnya.
Kedua potensi keanggotaan ganda.
Kemudian potensi pencatutan nama pengurus.
“Apalagi misalnya adalah adanya fakta objektif, kondisi objektif adanya keterbelahan beberapa partai politik, keterpecahan partai politik,” katanya.
Selanjutnya potensi pencatut nama anggota.
Dia menyangsikan kalau sekedar verifikasi administrasi bisa memastikan potensi empat problematika hukum di atas bisa dideteksi dengan baik.
Juga terkait validitas kepengurusan dan keanggotaan.
“Misalnya disampaikan berkas-berkas administrasinya lengkap gitu, ada dukungan dokumen KTP elektronik dan seterusnya. Tetapi apakah itu bisa mendeteksi mereka yang sudah meninggal dunia? mereka yang berpindah partai? Mereka yang pindah kewarganegaraan? Mereka yang mengundurkan diri karena menjadi ASN TNI Polri dan lain-lain?” tegasnya mempertanyakan.
“Verifikasi administrasi itu kan tidak sampai ke situ gitu. Padahal norma soal penetapan keabsahan persyaratan itu masih hidup di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017,” ucapnya.