Hakim Tawarkan Grasi ke Rizieq Shihab, Kuasa Hukum Ngaku Kaget
Ada tiga pilihan yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta dalam perkara tes swab RS UMMI Bogor tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Pimpinan FPI, Muhammad Rizieq Shihab menolak mengajukan grasi atau pengampunan dari Presiden yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Grasi itu ditolak Rizieq dalam perkara dugaan tindak pidana pemberitahuan bohong.
Ada tiga pilihan yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta dalam perkara tes swab RS UMMI Bogor tersebut.
Tiga pilihan itu yakni banding, pikir-pikir, dan mengajukan grasi.
Namun Rizieq memilih banding.
Keputusan mengajukan banding atas vonis bersalah dengan hukuman empat tahun penjara dari Majelis Hakim bahkan diambil Rizieq tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan tim kuasa hukumnya.
Baca juga: Hakim Beri Opsi Minta Pengampunan Jokowi, Ini Tanggapan Habib Rizieq Shihab
Tidak hanya Rizieq, Muhammad Hanif Alatas, dan dr. Andi Tatat yang juga jadi terdakwa dan divonis bersalah menolak pilihan mengajukan grasi diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Reaksi Kuasa Hukum Rizieq
Menanggapi pilihan tidak mengajukan grasi, anggota tim kuasa hukum Rizieq, Aziz Yanuar mengatakan belum bisa memastikan alasan ketiga kliennya menolak pilihan mengajukan grasi.
"Itu kebijakan dan kebijaksanaan dari Habib Rizieq, Habib Hanif, serta dr. Andi Tatat. Jadi saya belum tanya tadi kenapa seperti itu," kata Aziz saat dikonfirmasi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (24/6/2021).
Namun dia menilai pilihan grasi yang diberikan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Khadwanto dengan anggota Mu'arif dan Suryaman dalam kasus RS UMMI Bogor sebagai hal unik.
Menurutnya grasi yang merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan kepada terpidana dari Presiden tak lazim dalam perkara pidana.
"Ini unik, saya belum bisa berkomentar lebih lanjut."
"Tapi, patut dicatat ini menarik ketika ada majelis hakim dalam satu kasus yang katanya kasus prokes dan pidana tapi ada embel-embel meminta grasi ke Presiden," ujarnya.
Perbandingan Majelis Hakim dimaksud Aziz yakni Majelis yang mengadili perkara dugaan tindak pidana karantina kesehatan Rizieq dalam kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung.
Dalam putusan kedua perkara, Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa, dengan anggota M. Djohan Arifin, dan Agam Syarief tidak memberikan pilihan kepada Rizieq untuk mengajukan grasi.
Pada sidang putusan perkara Petamburan dan Megamendung Suparman Nyompa hanya memberikan pilihan menerima putusan, menolak atau banding, dan pikir-pikir selama tujuh hari.
"Biar para ahli hukum yang berkomentar apakah ini lazim (pilihan mengajukan grasi) ini lazim atau tidak," ujar Aziz.
"Tapi kita kaget juga. Tapi Habib dan para terdakwa sudah memutuskan akan banding," tuturnya menambahkan.
Diajukan hakim
Sebelumnya, saat membacakan amar putusan kepada ketiga terdakwa kasus tes swab RS UMMI Bogor Khadwanto memberikan pilihan mengajukan grasi atas vonis bersalah yang dijatuhkan.
Yakni hukuman empat tahun penjara kepada Rizieq, dan satu tahun penjara terhadap Hanif dan dr. Andi Tatat yang dianggap terbukti melanggar pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Setelah membacakan putusan Khadwanto mengatakan sesuai pasal 196 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) ketiga terdakwa memiliki tiga hak merespon vonis hasil musyawarah yang dijatuhkan.
Pertama menerima atau menolak putusan Majelis Hakim, kedua pikir-pikir selama tujuh hari sebelum menentukan sikap menerima atau menolak putusan lewat mengajukan banding.
"Ketiga hak mengajukan permohonan pengampunan kepada Presiden dalam hal saudara menerima putusan, yaitu yang disebut grasi," kata Khadwanto.
Bila mengacu Pasal 196 KUHAP, pilihan mengajukan grasi yang diberikan Khadwanto kepada ketiga terdakwa kasus tes swab RS UMMI Bogor berdasar karena tercantum dalam butir C ayat 3.
Isinya: hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi dalam hal ia menerima putusan.