Jika Presiden Tiga Periode, Indonesia Terancam Terjerumus Kembali ke Absolutisme Seperti Orde Baru
Jika periode jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode, maka Indonesia terancam akan terjerumus kembali ke absolutisme kekuasaan seperti Orde Bar
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Jika periode jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode, maka Indonesia terancam akan terjerumus kembali ke absolutisme kekuasaan seperti Orde Baru.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute Usman Hamid dalam Diskusi Daring Keadilan Pemilu “Ambang Batas Calon dan Pembatasan Masa Jabatan Presiden,” seperti disiarkan di Channel Youtube PUSaKO FHUA, Minggu (27/6/2021).
Baca juga: POPULER NASIONAL Klaim Qodari soal Wacana Jokowi 3 Periode | Daftar 33 Calon Dubes RI
Baca juga: Beredar 33 Nama Calon Dubes, Ada Jubir Presiden Fadjroel Rachman Hingga Ketua Kadin Rosan Roeslani
Apalagi sekarang terjadi melemahnya oposisi karena Prabowo Subianto, Sandiaga Uno dan Partai Gerindra sebagai pihak yang kalah dalam Pilpres 2019 dan seharusnya menjadi oposisi justru merapat ke istana.
Sementara, Partai Demokrat yang sudah menyatakan diri sebagai oposisi tengah dalam kemelut yang melibatkan Kepala Kantor Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko.
“Melemahnya oposisi saat ini dan wacana masa jabatan presiden tiga periode hanya akan membawa Indonesia ke arah absolutisme kekuasaan,” ujar Usman Hamid, yang juga Direktur Amnesty Internasional Indonesia ini.
Kalau wacana masa jabatan presiden tiga periode itu terjadi, maka, dia tegaskan, mutu keadilan pemilu terancam di ujung tanduk.
“Dan ini akan mengakhiri masa demokrasi pasca-reformasi Orde Baru,” tegasnya.
Karena itu, dia tegaskan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode itu harus ditolak.
Karena perpanjangan masa jabatan presiden itu hanya akan menutup sirkulasi kepemimpinan nasional yang sehat di Indonesia.
“Karena itu harus ditinggalkan, harus ditolak. Kenapa? Karena ia menutup sirkulasi kepemimpinan nasional yang adil, sirkulasi kepemimpinan nasional yang sehat,” jelasnya.
Untuk itu ia menilai komponen masyarakat sipil perlu menyampaikan secara tegas untuk menolak wacana tiga periode.
Karena dia menilai wacana jabatan presiden tiga periode membuat situasi demokrasi Indonesia yang saat ini memburuk akan menjadi semakin buruk.
Ada tiga tahap dalam proses kemunduran demokrasi. Menurut dia, Indonesia sudah masuk tahap regresi yang pertama, yaitu berkurangnya kualitas kebebasan berpendapat dan ruang publik untuk kritik dan protes.
Kemunduran kedua, kata dia, sudah mulai dirasakan yaitu melemahnya oposisi partai-partai politik.
Qodari, Presiden Tiga Periode dan Jokowi-Prabowo di 2024
Sebelumnya Penasehat Komunitas Jokowi- Prabowo 2024 (JokPro 2024), M. Qodari mengungkap alasan mendorong agar Presiden Joko Widodo bisa kembali maju di Pilpres 2024, berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Menghindari polarisasi dalam masyarakat pada Pemilu Presiden 2024 mendatang menjadi alasan mendorong Jokowi berpasangan dengan Prabowo di Pilpres 2024.
Qodari menilai Pilpres semakin lama semakin keras dari tahun ke tahun terakhir. Bahkan menurutnya, Pilpres terakhir-terakhir ini tidak sama dengan pemilu tahun 2004 tahun 2009. Kenapa tidak sama?
”Karena pertama, sekarang kita hidup di zaman politik identitas. Ini terjadi secara globalm bukan hanya terjadi di Indonesia.”
“Kedua yang juga baru adalah kita hidup di zaman medsos. Manusia sekarang hidup dalam dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Dunia medsos ini ternyata punya logikanya sendiri yang namanya logika algoritma biner dan itu menciptakan fenomena yang namanya ruang gema atau echo chamber,”: ujar Qodari dalam Diginas Tribun Network: “Pro-Kontra Presiden Tiga Periode dan Pasangan Jokowi-Prabowo,” Kamis (24/6/2021).
Hal itu kata dia, manifestasinya terlihat di Pilpres 2019 lalu dalam wujud kategorisasi cebong dengan kampret. Polarisasi ini telah mengakibatkan kerusuhan di 2019. Misalnya tatkala gedung Bawaslu diserbu habis-habisan, terjadi bentrokan di sejumlah lokasi di Jakarta.
Bila bukan Jokowi-Prabowo yang menjadi pasangan calon di 2024, maka dia khawatirkan akan terjadi kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar lagi dan banyak korban jiwa jatuh.
“Sehingga saya melihat nanti 2024 kalau kalau polanya tetap seperti ini, katakanlah calonnya bukan Jokowi-Prabowo, maka terjadi yang dikhawatirkan akan banyak korban yang meninggal, terjadi penyerbuan ke gedung MPR, petugas kelelahan, kecapaian jadi korban. Kemudian ada kena peluru nyasar kayak 2019 itu, ada orang seperti Yunarto Wijaya menjadi target pembunuhan. Itu dalam skala yang berlipat dari sebelumnya yang sudah kita lihat. Singkatnya Indonesia akan memenuhi teori dari pemilu menuju kekerasan,” jelasnya.
Atas dasar itu lah, lanjut dia, dirinya berpikir mengenai solusi untuk hal itu.
“Saya melihat solusinya ada pada Jokowi dan Prabowo,” ucapnya.
Kenapa Jokowi-Prabowo?
Karena memang dua tokoh ini yang selama ini merupakan representasi dari pilihan masyarakat Indonesia. Hal itu sudah terlihat dan dibuktikan dalam pilpres 2014 dan 2019.
“Sederhana saja karena mereka berdua ini yang selama ini didukung lalu kemudian kalau saya kampanyekan, saya sosialisasi Jokowi Prabowo, insya Allah secara naluriah nanti masyarakat akan mendukung,” jelasnya.
Kemdian dua tokoh itu juga adalah dari nasionalis. Hal ini untuk bersatu melawan tantangan radikalisme di NKRI.
“Saya memang pengen ada aliansi besar tokoh nasionalis NKRI bersatu untuk menghadapi tantangan yang yang lain yaitu radikalisme, pemikiran-pemikiran garis keras.”
“Jadi ada para petualang politik yang kemudian pengaruhnya besar dan bisa membuat tensi itu menjadi sangat tinggi. Istilah saya itu variabel imam besar. Nah variabel ini harus ditutup ruang komunikasinya, ruang politiknya,” tegasnya.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.