Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tanggapi Spekulasi Dokter Lois Soal Covid-19, Epidemiolog Beberkan Hal Ini

Dicky menyebut riset ini bisa dilakukan jika memang diperlukan pembuktian secara ilmiah dari sisi forensik.

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Tanggapi Spekulasi Dokter Lois Soal Covid-19, Epidemiolog Beberkan Hal Ini
shutterstock
Ilustrasi Covid-19 Varian Delta 

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya Dokter Lois Owien yang mengaku tidak percaya adanya virus corona (Covid-19), tidak hanya memicu kontroversi di dunia kedokteran namun juga epidemiologi.

Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa pernyataan yang terkait dengan wabah, tentunya harus didasarkan pada fakta data berbasis ilmiah, bukan sekadar pernyataan bualan saja.

"Yang pertama, kalau mau mengeluarkan statement harus didukung fakta data secara metode ilmiah, apalagi tentang kematian 'apakah karena Covid-19?'," ujar Dicky, kepada Tribunnews, Senin (12/7/2021).

Ia pun menegaskan bahwa semua bisa dibuktikan melalui riset otopsi untuk mengetahui penyebab kematian seseorang.

Baca juga: Kemenkes RI : Asrama Haji Pondok Gede Jadi RS Cadangan Perawatan Pasien Covid 19

Menurutnya, itu biasa dilakukan dalam dunia kedokteran.

"Kalau bicara kematian, dalam dunia kedokteran itu referensinya penyebabnya itu kalau mau memastikan ya riset otopsi," kata Dicky.

Berita Rekomendasi

Dicky menyebut riset ini bisa dilakukan jika memang diperlukan pembuktian secara ilmiah dari sisi forensik.

Ini bisa digunakan untuk menjawab asumsi Dokter Lois yang menyebut bahwa kematian orang yang terinfeksi Covid-19 bukan karena virus corona, namun karena disebabkan adanya interaksi obat.

"Tidak mesti semuanya diotopsi, tapi dari riset terkait kasus kematian pada Covid ini, bagaimana secara forensik? Nah otopsi itulah yang akan menjadi dasar secara keilmuan tentang penyebab kematiannya karena apa," tegas Dicky.

Dicky menyampaikan bahwa berdasar pada data pasien meninggal karena Covid-19 yang menjadi bagian dari riset otopsi, ditemukan penyebab bahwa kematiannya karena terdapat virus SARS-CoV-2 dalam jaringan parunya.

Perlu diketahui, SARS-CoV-2 merupakan virus yang menyebabkan Covid-19.

"Nah data saat ini dari riset otopsi pada pasien-pasien yang terdiagnosa Covid kemudian meninggal, kemudian dicari tahu, ternyata semua dari yang (masuk) diriset itu, artinya 100 persen orang yang meninggal karena Covid itu, di jaringan parunya terdeteksi adanya virus SARS-CoV-2," papar Dicky.

Ia kembali menekankan bahwa organ tubuh vital pertama yang akan diserang virus ini adalah yang terkait pernafasan, yakni paru.

Sehingga ini yang bisa membuat fatal kondisi mereka yang terinfeksi Covid-19 jika organ parunya yang terkena serangan.

"Kenapa saya bilang 100 persen terdeteksi di paru ? yang terinfeksi pertama dan yang juga membuat fatal berarti di organ paru," tutur Dicky.

Sementara untuk organ vital kedua yang paling banyak terserang selain paru adalah ginjal.

Tidak hanya itu, pada kasus lainnya, Covid-19 juga menyerang organ lain yang tidak kalah penting yakni otak dan beberapa organ tubuh lainnya.

"Karena untuk organ-organ lainnya bervariasi, ada yang di ginjal, jadi organ kedua itu ya pada ginjal banyak terdeteksi, (kasus) yang lainnya bervariasi, ada yang di otak, ada yang di organ-organ lain," jelas Dicky.

Terkait spekulasi Dokter Lois yang menyebut kematian pasien Covid-19 bukan karena virus tersebut melainkan interaksi obat, Dicky pun menepis dugaan itu.

Ia memaparkan bahwa kondisi umum yang terjadi pada pasien Covid-19 yang mengalami kematian adalah karena adanya kegagalan pada fungsi organ parunya.

Saat terinfeksi virus ini, pasien biasanya akan mengalami serangan pada organ parunya, di mana ia mungkin akan mengalami kegagalan dalam melakukan penyerapan (absorpsi) oksigen.

Selain itu, ada pula gangguan lainnya yang umumnya dialami, yakni seperti adanya penyumbatan pembuluh darah pada paru-paru.

"Nah kemudian penyebab kematiannya itu umumnya karena adanya kegagalan organ paru, karena gagal dalam mengabsorp (menyerap) oksigen dan disertai adanya pembuluh darah yang di paru itu ada seperti kalau stroke itu ada sumbatan, ya ada seperti itu," kata Dicky.

Sehingga kerusakan pada fungsi organ parunya inilah yang mungkin saja membuat pasien yang terinfeksi Covid-19 dengan gejala berat ini tidak bisa bernafas.

Oleh karena itu, ia membantah spekulasi Dokter Lois yang menyatakan bahwa kematian pasien yang dirawat di rumah sakit disebabkan interaksi obat.

"Jadi orang itu nggak bisa nafas dan terjadi kerusakan, damage yang berat di organ paru, dan itu tidak ada kaitan atau tidak berkaitan dengan interaksi obat," tegas Dicky.

Menurut Dicky, mungkin saja memang ada obat yang memiliki efek samping, namun hanya bersifat gangguan saja, tidak menyebabkan kematian.

"Kalau obat-obat yang misalnya dikonsumsi saat ini, kalaupun ada misalnya efek samping ya ke lambung, memang ada efek sampingnya, misalnya fungsi livernya jadi sedikit terganggu, tapi tidak menyebabkan kematian," pungkas Dicky.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas