Pakar Hukum: Penyidik Kejaksaan Perlu Cermati Sumber Dana Jiwasraya dan Asabri
Pakar hukum pidana UPH Jamin Ginting meminta penyidik Kejaksaan agar mencermati sumber dana dari Jiwasraya dan Asabri.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pidana UPH Jamin Ginting meminta penyidik Kejaksaan agar mencermati sumber dana dari Jiwasraya dan Asabri. Yakni, apakah berasal dari keuangan negara atau berasal dari premi asuransi milik masyarakat.
“Jadi penyidik Kejaksaan harus membaca Pasal 2 huruf h Undang-Undang Keuangan Negara (UUKN) secara proporsional. Yakni berapa persentase yang termasuk kekayaan negara, kekayaan PT Jiwasraya dan berapa persentase dana masyarakat,” ujar Jamin, kepada wartawan, Selasa (13/7/2021).
Menurutnya, kurang tepat dan kurang bijak jika Kejaksaan Agung menyimpulkan dengan memukul rata bahwa seluruhnya adalah kekayaan negara.
"Mencermati sumber dana kasus ini, tidaklah tepat menggunakan UU Tipikor dan UUKN, dan kurang tepat kasus ini dikategorikan sebagai peristiwa korupsi,” ujarnya.
Apabila dianalisis lebih mendalam, lanjut Jamin, kasus Jiwasraya-Asabri ini lebih tepat dari awal diproses dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, sehingga terlihat due process of law yang adil buat semua pihak.
Baca juga: Pakar Hukum Pidana Dorong Agar Tak Ada Malpraktik Penyitaan Aset dalam Kasus Jiwasraya dan Asabri
Dirinya juga mengkritisi keputusan pemidanaan Gagal Bayar yang dijadikan alasan munculnya kasus pidana korupsi, termasuk penetapan nilai kerugian.
Baca juga: Bakal Dilibatkan dalam Penyelamatan Jiwasaraya, Ini Respons Bank BTN
Kata Jamin, kasus tersebut problematik karena secara de facto saham-saham tersebut masih dimiliki oleh Jiwasraya namun memang saat ini sedang mengalami penurunan nilai saham (impairment).
Baca juga: Lima Kapal Milik Tersangka Asabri Dilelang, Taksiran Nilainya Rp 27 Miliar
“Akibatnya, penyitaan, pemblokiran dan kegagalan memverifikasi aset yang dilakukan Kejagung memberikan dampak sistemik para investor pasar modal dan konsumen bisnis asuransi,” ujar Jamin.
Sementara mantan Ketua Komisi Kejaksaan, Halius Hosen meminta agar penegakan hukum jangan sampai dipolitisasi, sebab tindakan itu tidak dibenarkan dan tidak bisa dibiarkan.
“Jangan sampai penegakan hukum dipolitisasi dan sewenang-wenang. Maka adalah hak dan kewajiban bagi siapapun untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya,” kata Halius.
Sebagai upaya pengawasan, maka perlu adanya eksaminasi apakah penyidik maupun penuntut umum dalam kasus ini adalah pihak yang berkompeten dan melaksanakan tugasnya sesuai aturan dan perundang-undangan.
“Jangan dibiarkan jika menemukan ketidakadilan. Jika ada celah penegakan hukum yang tidak berkeadilan atau melanggar UU, maka telah terjadi pembangkangan hukum yang luar biasa dalam penegakan hukum Jiwasraya-Asabri,” ujarnya.
Sebagai mantan jaksa, Halius berharap agar kejaksaan tidak menjadi alat untuk praktik penyalahgunaan wewenang dalam rangka menegakkan hukum. “Jangan ada kolaborasi jahat antara penegak hukum dengan penjahat. Jika dibiarkan maka akan merusak institusi kejaksaan, sebagai lembaga penegak hukum tertinggi di negeri ini,” kata dia.
Halius mendesak agar Komisi Kejaksaan turun tangan untuk menyelidiki dan melakukan pengawasan terhadap kinerja para jaksa.
“Karena Komisi Kejaksaan itu memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan tupoksi, kinerja, dan perilaku para jaksa. Sebab tudingan kriminalisasi bukan lagi masalahnya tupoksi, profesionalisme dari penegak hukum, tapi juga menyangkut perilaku,” jelasnya.