Calon Hakim Agung Jupriyadi Ditanya Soal Pengurangan Hukuman Djoko Tjandra dan Pinangki
Amzulian menanyakan hal tersebut karena terkait dengan pengurangan hukuman terhadap Djoko Tjandra dan Pinangki banyak didiskusikan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung yang saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Jupriyadi, ditanya oleh Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai.
Pertanyaannya terkait pandangan Jupriyadi soal pengurangan hukuman terhadap Djoko Tjandra dan Pinangki.
Amzulian menanyakan hal tersebut karena terkait dengan pengurangan hukuman terhadap Djoko Tjandra dan Pinangki banyak didiskusikan dan dicurigai oleh publik.
Meski Amzulian mengatakan putusan tersebut meruoaman kebebasan hakim, namun lembaga Mahkamah Agung perlu kepercayaan masyarakat.
Selain itu, ia juga menanyakan hak tersebut karena makalah yang pernah ditulis Jupriyadi tentang disparitas putusan atau kebebasan yang diberikan undang-undang kepada hakim untuk memutus perkara sesuai dengan ketentuan, walaupun putusan tersebut bisa saling berbeda antara suatu perkara dengan perkara yang lain.
Baca juga: Saat Calon Hakim Agung Aviantara Ditanya soal Sunat Vonis Pinangki dan Djoko Tjandra
Jupriyadi kemudian mengatakan tidak memiliki kapasitas atau kewenangan untuk mengomentari putusan terhadap Djoko Tjandra dan Pinangki.
Di samping itu, kata dia, menurut kode etik hakim tidak diperkenankan mengomentari putusan orang lain.
Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Selasa (3/8/2021).
"Namun demikian yang harus kita terapkan bahwa pengurangan hukuman atau menaikan hukuman itu mesti ada reason atau pertimbangannya. Sehingga tanpa kita membaca pertimbangan dalam putusan, kita tidak selayaknya mengomentari dan sebagainya," kata Jupriyadi.
Sebelumnya Jupriyadi menjelaskan pandangannya terkait dengan disparitas putusan di negara-negara yang menerapkan sistem hukum common law (anglo-saxon).
Jupriyadi mengatakan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law, putusan-putusan hakim terdahulu mengikat terhadap hakim atau perkara yang dipersidangkan berikutnya.
Sedangkan di Indonesia, tidak berlaku asas preseden atau asas bahwa seorang hakim dalam memutus perkara tidak boleh menyimpang dari hakim yang lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi.
Selain itu di negara-negara common law eksaminasi putusan sudah merupakan kebiasaan dan dilembagakan, namun di Indonesia belum sepenuhnya.
Dalam realitanya, lanjut dia, akhir-akhir ini yang namanya eksaminsasi oleh pihak ketiga mungkin dari pihak perguruan tinggi dan lain sebagainya sudah sering dilaksanakan.
Baca juga: Pinangki Dijebloskan ke Sel Lapas Wanita Tangerang, Kini Lepas Hijab
"Namun demikian dalam praktik itu tidak mengikat kepada hakim-hakim kita," kata dia.
Selain itu, kata Jupriyadi, diskusi-diskusi yang dilaksanakan dalam sistem common law itu juga mengurangi adanya disparitas.
Hal itu karena menurutnya para hakim nantinya akan menggunakan hasil diskusi-diskusi tersebut untuk menangani perkara yang sejenis dengan perkara yang terdahulu.
"Pada pengadilan kita, sistem kita, memang sudah ada namun belum secara menyeluruh dan belum menjadi kebiasaan dalam sistem penegakan hukum kita," kata dia.
Jupriyadi pun menjawab terkait kendala yang dihadapi oleh hakim-hakim di Indonesia tidak mempedomani putusan pengadilan di tingkat sebelumnya sehingga kepercayaan publik tidak berkurang.
Menurutnya, hal tersebut biasanya terjadi karena dari awal sistem hukum di Indonesia memang tidak didesain seperti itu.
"Memang kita kenal adanya yurisprudensi sebagai sumber hukum, tetapi itu tidak mengikat para hakim," kata dia.
Kendala kedua, kata dia, karena setiap kasus tidak pernah ada yang sama persis.
Selain itu, problem tersebut juga berkaitan dengan kebebasan dan kemandirian hakim yang sangat menentukan.
"Itu bisa menjadi alasan, untuk tidak mematuhi atau memakai hasil eksaminasi atau diskusi-diskusi sebagaimana di sistem common law tersebut," kata Jupriyadi.